Popular Posts

Monday, December 1, 2008

Keterampilan Menulis (Writing Skill) 3

Menulis untuk Menggali dan Membuang

James W. Pennebaker “Orang-orang yang menuliskan pikiran dan perasaan terdalam mereka tentang pengalaman traumatis menunjukkan peningkatan fungsi kekebalan tubuh dibandingkan dengan orang-orang yang menuliskan masalah-masalah remeh-temeh,” ungkap Dr. James W. Pennebaker, seorang psikolog, dalam bukunya yang menampung hasil risetnya, Opening Up: The Healing Power of Expressing Emotions. Menurut Pennebaker lebih jauh, menuis dapat menjadi “alat” untuk menggali dan membuang hal-hal yang mengganggu pikiran dan perasaan.

Bagaimana caranya agar menulis dapat menjadi “alat” untuk menggali dan membuang? “Anda tidak usah terlalu mimikirkan masalah tata bahasa, ejaan, ataupun struktur kalimat ketika menulis,” tegas Pennebaker.

“Anda juga harus berusaha untuk membebaskan diri Anda. Terserah kepada Anda untuk menulis apa saja yang Anda inginkan. Yang penting, Anda merasa nyaman dan tekanan Anda hilang ketika menulis,” ujar penulis buku The Psychology of Physical Symptoms (Springer-Verlag, 1982) dan Writing to Heal: A Guided Journal for Recovering from Trauma and Emotional Upheaval (New Harbinger Press, 2004).

Dalam buku Opening Up, Pennebaker, secara menarik, menyajikan hasil-hasil penelitian psikologis yang terkait dengan kegiatan menulis. “Seperti melukis, menulis adalah aktivitas manusia yang alami,” tulis Pennebaker. ”Salah satu nilai yang diberikannya adalah membantu kita memadukan dan menata kehidupan kita yang kompleks.

Kegiatan menulis dapat mewujudkan sasaran yang tidak sederhana ini dalam berbagai cara.” Pennebaker kemudian menyebut, antara lain, menjernihkah pikiran, membantu dan mengingat informasi baru, membantu memecahkan masalah, merupakan sebagian dari cara menulis yang mampu membantu manusia menata kehidupannya yang kompleks.

Bayangkan jika Anda dapat berlatih menulis setiap hari dengan menggabungkan metode “freewriting”-nya Elbow dan “opening up”-nya Pennebaker, apa yang akan terjadi pada diri Anda? Tentulah yang paling pertama akan Anda peroleh adalah rasa nyaman dan lega ketika menjalani kegiatan menulis.

Anda tidak akan tertekan ketika menulis dan bahkan—inilah keajaibannya—Anda akan dapat membuang jauh-jauh pelbagai tekanan yang Anda alami. Betapa mengasyikkannya berlatih menulis seperti ini bukan?

Apabila latihan menulis bebas dan menulis untuk membuang ini Anda jalankan secara konsisten dan kontinu setiap hari—kapan pun dan di mana pun—secara perlahan-l;ahan, kemampuan atau keterampilan menulis itu akan mulai terkristal di dalam diri Anda.

Sekali lagi, menulis adalah sejenis keterampilan. Anda akan memiliki keterampilan menulis jika Anda mau membiasakan diri berlatih menulis. Dan pengkristalan kemampuan menulis itu dapat Anda lakukan secara sangat cepat apabila Anda menjalankan pembiasaan itu dengan rasa senang tiada terkira.

Inilah menulis yang memberdayakan.





Copyright © 2007 Mizan Publishing House
Edisi 1 Desember 2008
- Keterampilan Menulis (Writing Skill) 3

Keterampilan Menulis (Writing Skill) 2

Menulis Bebas, Menulis Tanpa Tekanan dan Ancaman

Peter Elbow adalah Profesor Bahasa dan Direktur Program Menulis di University of Massachusetts, Amherst, Amerika Serikat. Demikian indentitas Elbow ini dapat kita baca di sampul belakang bukunya, Writing without Teachers, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 2007 dan diterbitkan oleh iPublishing. Karya-karya Elbow lainnya adalah Embracing Contraries: Explorations in Learning and Teaching (Oxford UP, 1986), Writing with Power: Techniques for Mastering the Writing Process (Oxford UP, 1981), dan Being A Writer (McGraw-Hill, 2002). Elbow dikenal di dunia akademis tulis-menulis sebagai penganjur menulis bebas.

Mengapa menulis bebas penting? Menulis bebas menjadi penting karena menulis—sebagaimana ditegaskan di tulisan sebelum ini—adalah sejenis keterampilan. Seseorang yang ingin berdaya menulis perlu membiasakan diri untuk berlatih menulis sesering mungkin. Dan menulis bebas adalah salah satu cara termudah untuk berlatih menulis setiap hari selama 10 hingga 15 menit. Menulis bebas merupakan cara membiasakan diri berlatih menulis yang memberdayakan diri.

“Menulis bebas adalah bentuk latihan yang dapat membantu orang membiasakan dirinya menulis,” tulis Bagus Takwin ketika mengulas buku karya Elbow (lihat http://bagustakwin.multiply.com/reviews/item/6). “Dalam latihan ini, orang disarankan untuk menuangkan dalam bentuk tulisan apa pun yang ia pikirkan, bahkan tentang ketidakmampuannya menulis. Ketika seseorang diminta menulis apa pun yang terpikirkan olehnya selama 10 menit dan merasa buntu, orang itu bisa saja hanya menuliskan kebuntuannya, menuliskan kebingungannya. Dalam menulis bebas, lupakan aturan, lupakan kesalahan. Menulis saja. Luapkan saja.”

Menulis bebas memang menulis yang tidak mengikuti aturan. Menulis bebas merupakan kegiatan menulis di mana ”tuan” dari kegiatan tersebut benar-benar si penulis itu sendiri. Apa yang ingin ditulis, bagaimana memulainya, dan cara yang ditempuh oleh si penulis adalah mutlak berada di dalam kendali si penulis bebas. Dapat dikatakan juga bahwa menulis bebas adalah menulis yang memungkinkan si penulis bebas membebaskan apa saja yang memenjara pikirannya. Lewat menulis bebas, dia dapat membuang terlebih dahulu segala hal yang mengancam dan menekannya.

”Hampir semua orang menyunting di antara saat kata-kata muncul dalam pikiran dan ketika kata-kata itu dituangkan ke atas kertas. Sekolah membuat kita terobsesi dengan ’kesalahan’ dalam menulis,” begitu urai Elbow dalam bukunya.

”Banyak orang terus memikirkan ejaan dan tata bahasa saat menulis.” Setelah menunjukkan hal penting itu, Elbow membandingkan menulis dengan ketika kita berbicara.


”Dalam berbicara, biasanya kita meng- ucapkan begitu saja kata-kata yang melintas dalam pikiran. Namun, dalam menulis, ada kesempatan untuk mendapatkan kata-kata yang tepat. Tetapi, kesempatan itu menjadi beban: Anda bisa berusaha selama dua jam untuk mendapatkan alinea yang tepat dan kemudian menyadari bahwa alinea itu sama sekali tidak tepat, lalu menyerah.”

Bebaskan diri Anda ketika menulis dari segala hal yang mengganggu pikiran dan perasaan Anda. Menulis bebaslah setiap hari. Luangkan waktu sekitar 10 hingga 15 menit. Biarkan kata-kata mengalir begitu saja tanpa Anda koreksi ....




Copyright © 2007 Mizan Publishing House

Edisi 1 Desember 2008

- Keterampilan Menulis (Writing Skill) 2

Keterampilan Menulis (Writing Skill)

Menulis yang Memberdayakan

Menulis bukan kegiatan enteng. Tentang hal ini, semua orang yang pernah mencicipi kegiatan menulis pastilah tahu. Namun, tidak semua orang tahu bahwa ada cara yang nyaman dan mengasyikkan sekaligus memberdayakan dalam membangkitkan potensi menulis. Cara-cara menulis tersebut dapat menjadikan seseorang—yang ingin mencicipi kegiatan menulis—tiba-tiba “kaget” dengan apa yang terjadi dengan dirinya.

Sebelum menginjak ke cara-cara menulis yang memberdayakan tersebut, alangkah baiknya jika kita memahami lebih dahulu apa sesungguhnya yang dimaksud dengan kata “memberdayakan”. Kata ini berasal dari kata dasar “daya” yang berarti “kemampuan melakukan sesuatu atau kemampuan bertindak”. “Berdaya” adalah “berkemampuan atau memiliki cara untuk mengatasi sesuatu”.

Menulis yang memberdayakan adalah menulis yang membuat seseorang yang menjalankan kegiatan menulis dapat mengatasi setiap persoalan yang muncul ketika dirinya sedang menulis. “Tidak ada seorang pun dapat diberdayakan oleh orang lain; individu-individu harus memberdayakan diri mereka sendiri,” tulis David Clutterbuck dalam The Power of Empowerment. Menulis yang memberdayakan akan membekali setiap individu untuk mengatasi persoalan menulis yang dialaminya.

Pertama, setiap individu yang berkeinginan menulis, pastilah akan menjadi berdaya menulis jika dia memahami bahwa menulis itu sebuah keterampilan (skill). Menulis dapat dikatakan hampir setara dengan menari, memasak, berenang, dan semacamnya. Untuk menjadi berdaya menulis, seseorang harus membiasakan diri berlatih menulis. Tanpa berlatih menulis, mustahil seseorang dapat nyaman dan asyik menulis.

Pesan Elizabeth Winthrop berikut ini layak kita jadikan acuan, “Kalau Anda ingin menjadi penari profesional, tentu Anda harus berlatih setiap hari. Kalau Anda ingin bermain sepakbola di divisi utama, Anda pun harus latihan menendang dan menggiring bola ratusan kali. Menulis memerlukan hal yang sama. Anda perlu berlatih, artinya Anda harus terus menulis dan membaca.”

Kedua, menulis adalah ”bermain” dengan kata-kata. Kata-kata itu digunakan seorang penulis untuk menjadi sarana mengungkapkan pikiran dan gagasannya. Pikiran dan gagasan adalah sesuatu yang abstrak yang kadang sangat rumit untuk dapat dipahami oleh orang lain. Bahkan si pemilik pikiran dan gagasan sendiri kadang belum memahami benar apa yang dipikirkan dan digagasnya. Hanya, setelah pikiran dan gagasan itu dituliskan, barulah jelas benar hal-hal yang semula abstrak itu.

Jadi, betapa pentingnya seorang penulis memiliki stok kata-kata yang sangat banyak dan sangat bervariasi. Untuk dapat memiliki banyak sekali kata, seorang penulis hanya punya satu cara, yaitu membaca. Jadi, jika ingin menjalani kegiatan menulis yang memberdayakan, seseorang perlu menyukai kegiatan membaca. Semakin banyak buku yang dibaca, semakin mudah menjalankan kegiatan menulis. Dan semakin bervariasi buku yang dibaca, semakin kaya tulisan yang akan dihasilkannya.




Copyright © 2007 Mizan Publishing House
Edisi 1 Desember 2008
- Keterampilan Menulis (Writing Skill)

Review: 1001 Books You Must Read Before You Die

Volumes to Go Before You Die
By WILLIAM GRIMES

www.nytimes.com
Published: May 23, 2008

An odd book fell into my hands recently, a doorstopper with the irresistible title “1001 Books You Must Read Before You Die.” That sounds like a challenge, with a subtle insult embedded in the premise. It suggests that you, the supposedly educated reader, might have read half the list at best. Like one of those carnival strength-testers, it dares you to find out whether your reading powers rate as He-Man or Limp Wrist.

The book is British. Of course. The British love literary lists and the fights they provoke, so much so that they divide candidates for the Man Booker Prize into shortlist books and longlist books. In this instance Peter Boxall, who teaches English at Sussex University, asked 105 critics, editors and academics — mostly obscure — to submit lists of great novels, from which he assembled his supposedly mandatory reading list of one thousand and one. Quintessence, the British publishers, later decided that “books” worked better than “novels” in the title.

Even without Milton or Shakespeare, Professor Boxall has come up with a lot of books. Assume, for the sake of argument, that a reasonably well-educated person will have read a third of them. (My own score, tallied after I made this estimate, was 303.) That leaves 668 titles. An ambitious reader might finish off one a month without disrupting a personal reading program already in place. That means he or she would cross the finish line in the year 2063. At that point, upon reaching the last page of title No. 1,001, “Never Let Me Go” by Kazuo Ishiguro, death might come as a relief.

Two potent factors make “1001 Books” (published in the United States in 2006 by Universe; $34.95) compelling: guilt and time. It plays on every serious reader’s lingering sense of inadequacy. Page after page reveals a writer or a novel unread, and therefore a demerit on the great report card of one’s cultural life. Then there’s that bullying title, with its ominous allusion to the final day when, for all of us, the last page is turned.

I appreciate the sense of urgency because I feel it myself. But when Professor Boxall brings death into the picture, he sets the bar very high. Let’s have a look at some of these mandatory titles. Not only is it not necessary to read “Interview With the Vampire” by Anne Rice before you die, it is also probably not necessary to read it even if, like Lestat, you are never going to die. If I were mortally ill, and a well-meaning friend pressed Anaïs Nin’s “Delta of Venus” into my trembling hands, I would probably leave this world with a curse on my lips.

If the “1001 Books” program seems quirky, even perverse, it’s no accident. “I wanted this book to make people furious about the books that were included and the books that weren’t, figuring this would be the best way to generate a fresh debate about canonicity, etc.,” Professor Boxall informed me in an e-mail message. And how.

The tastes of others are always inexplicable, but “1001 Books” embodies some structural irregularities. Arranged chronologically, it begins with the novel’s primordial period — everything up to 1800 — and then marches century by century into the present.

More than half the books were written after World War II. Already I feel my hackles rising. Does not the age of Balzac, Dickens, Dostoyevsky and Tolstoy dwarf its earnest, fitfully brilliant but ultimately punier successor? And if the 20th century can put up a fight, the real firepower is concentrated in the period of 1900 to 1930. Like many others, I admire Ian McEwan, but does he really merit eight novels on the list, to Balzac’s three?

Something is wrong here. Paul Auster gets six novels. Don DeLillo seven. Thackeray gets one: “Vanity Fair.”

Because nearly all the contributors hail from Britain and its former colonial possessions, there is a marked English-language bias and a tendency to favor obscure British novelists over obscure Spanish or Italian ones. Fair enough. A French or Russian version of “1001 Books” would impose its own prejudices. In fact, prejudice is what you want in a book like this, which works best as an annotated tip sheet for hungry readers on the prowl for overlooked writers and neglected works.


The United States gets a fair shake, and there may even be some overcompensation. Philip Roth shows up with no fewer than seven novels, including “The Breast,” and Edith Wharton is honored for four novels in addition to the two big ones, “The House of Mirth” and “The Age of Innocence.”

A little more Anglophilia might have been in order. Anthony Powell shows up with “A Dance to the Music of Time” — which is actually 12 novels, so Professor Boxall cheats — but I would have made a play for a few of the pre-“Dance” novels, like “Venusberg” or “Afternoon Men.”

On the other hand, the 20th-century bias eliminates Americans like Stephen Crane and William Dean Howells entirely, and a certain weakness for postmodernism squeezes out novels like “An American Tragedy” by Theodore Dreiser and “The Octopus” by Frank Norris. Drop a couple of Austers, and there would have been room.

As an experiment, I picked three novels, more or less at random, to see how they might change my quality of life: “Castle Rackrent” by Maria Edgeworth; “Tarka the Otter” by Henry Williamson; and “The Invention of Curried Sausage” by Uwe Timm. Two of the three definitely provided a lift. “Castle Rackrent” (1800), a rollicking satire about trashy English aristocrats who bring ruin to an Irish estate, is worth reading just for the name Carrick O’Fungus, although literary historians prize it for being the first regional novel. That’s fine. Bonus points for getting there first, but the real reason to pick it up is Edgeworth’s slyly vicious picture of slovenly aristos on the loose.

Uwe Timm, a contemporary German writer unknown to me, now flies very high on my mental Amazon rankings. “The Invention of Curried Sausage” (1993) is an offbeat quest novel. The narrator, seeking the origins of currywurst, a German fast-food specialty, quizzes an elderly vendor and winds up with a big, fat history lesson. The issues are big, the prose brilliant, the execution deft. Eternal gratitude to Andrew Blades, theater reviewer for Stage magazine, who convinced Professor Boxall that this novel belonged on the list.

Tarka turned out to be too much otter for me, even though the back story is compelling. Williamson, returning from the trenches after World War I, took up a hermit’s life in north Devon, where he lived among the plants and the animals, observing closely and shunning humankind. “Tarka,” published in 1927, tells the story of a young male otter and its day-to-day struggles for food, a mate and security in a world populated by baying dogs and evil men. T. E. Lawrence loved it. I didn’t.

Since Professor Boxall is keen to start an argument, let me oblige. Drop the bloated, self-indulgent “Ada” from an otherwise correct Nabokov list (“Lolita,” “Pale Fire,” “Pnin”) and insert “Laughter in the Dark” or “The Gift.” J. M. Coetzee, with 10 novels, can afford to lose 1 or 2. That would open up space for “The Cossacks” by Tolstoy and “A Hero of Our Time” by Mikhail Lermontov. There should be another five Balzacs. I could go on and on.

One problem with drawing up recommended-reading lists is the urge to show off. No one gets points for proposing “The Brothers Karamazov.” Credibility comes with books like “The Ravishing of Lol V. Stein” by Marguerite Duras, or the reverse-chic audacity of insisting that “The Godfather” belongs on the same list as “The Trial.”

A little humility is in order. Easy for me to bring up “Envy” by Yuri Olyesha because I happen to have read it, or Jakob Arjouni, a German writer of Turkish descent who counts as one of my latest discoveries, largely because I was seduced by the title of a recent story collection, “Idiots.”

As a reality check, I opened “1001 Books” at random and beheld “A Kestrel for a Knave,” by Barry Hines, which I have not read, followed by “In Watermelon Sugar” by Richard Brautigan (ditto) and “The German Lesson” by Siegfried Lenz (started it, put it down, meant to get back to it, never did). No matter how well read you are, you’re not that well read. If you don’t believe it, pick up “1001” and start counting.

In his novel “Changing Places,” David Lodge — not on the list — introduces a game called Humiliation. Players earn points by admitting to a famous work that they have not read. The greater the work, the higher the point score. An obnoxious American academic, competing with a group of colleagues, finally gets the hang of the game and plays his trump card: “Hamlet.” He wins the game but is then denied tenure.

That’s the thing with reading lists like “1001 Books.” There’s always that host of the unread.

Come to think of it, I have a personal white whale: “Moby-Dick.” I really must read it before I die.
- Review: 1001 Books You Must Read Before You Die

Tutorial Menulis Buku dan Artikel

Simak Beberapa Kiat dan Tips Menulis Berikut . . .

Tips menulis bagi pemula
Oleh : Haryo Bagus Handoko

Bagi Anda yang ingin memulai menulis sebagai karir utama atau sekedar hobi untuk mengisi waktu luang, berikut ini beberapa tips yang mungkin akan membantu Anda. Tulisan ini dibuat bukan untuk maksud sok menggurui, tapi dibuat sekedar untuk berbagi pengalaman dengan para pembaca yang berkeinginan untuk menekuni dunia tulis menulis. Penulis artikel ini yakin bahwa banyak di antara pembaca yang mungkin membaca artikel ini jauh lebih mahir dan lebih mumpuni pengetahuan dan keahliannya dalam bidang tulis menulis. Baiklah berikut ini beberapa hal yang perlu diperhatikan dan bisa dijadikan pedoman untuk memulai sebuah tulisan.


1. Tetapkanlah suatu ide dasar/tema dari tulisan Anda. Kembangkan ide tersebut dalam suatu kerangka pemikiran/kerangka tulisan, yaitu buatlah semacam skema/bagan alur mengenai tulisan yang hendak dibuat. Banyak orang yang menyebut skema ini dengan “PARADIGMA TULISAN”.

2. Setelah membuat skema/paradigma tulisan, mulailah lakukan sedikit riset (banyak juga akan semakin bagus). Riset bisa berawal dari tulisan di buku-buku, berita di televisi, artikel-artikel yang menunjang baik di koran maupun dari internet. Riset juga bisa pula didukung dengan informasi dari narasumber, yaitu orang yang berkompeten di bidang kajian yang akan menjadi bahan penulisan kita. Pengambilan data dari narasumber bisa dengan metode random sampling (metode pemilihan narasumber/responden secara acak), snowball sampling (metode pemilihan narasumber/responden dari mulut ke mulut, dimana jumlah responden akan bertambah banyak; misal kita datangi si A, lalu kita wawancara, kita mintai pendapatnya tentang topik yang akan menjadi bahan tulisan kita, lalu kita tanyai si A, siapa lagi yang bisa kita datangi untuk kita mintai informasi.

Misalnya si A menyebutkan nama teman-temannya yang juga ahli di bidang itu, misalnya si B, si C dan si D. Maka selanjutnya kita datangi si B, si C dan si D untuk mengorek keterangan lebih lanjut, demikian seterusnya hingga jumlah responden semakin lama semakin banyak dan data/keterangan serta informasi yang kita butuhkan semakin valid dan teruji kebenarannya). Bisa juga kita melakukan survei, seluruh responden/narasumber yang berkompeten dalam bidang tersebut (100% semuanya kita wawancarai) kita minta keterangan tentang topik yang akan menjadi bahan tulisan kita. Metode survei ini meskipun bisa menghasilkan data awal yang cukup valid, namun membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dari ketiga metode pengumpulan data di atas, terserah kepada pembaca untuk memilih mana yang terbaik.


3. Dari hasil riset dan wawancara dengan nara sumber, mulailah untuk memilah-milah dan melakukan penggolongan informasi tersebut dalam beberapa kategori. Tiap versi yang berbeda dari hasil riset belum tentu salah 100%, namun perlu kita telaah lebih jauh dan kita lakukan analisa berdasarkan cara berpikir secara sistematis dan logis. Mungkin saja potongan-potongan informasi tersebut merupakan secuil saja dari sejumlah besar informasi yang bila kita gabung-gabungkan dan kita analisa secara mendalam akan menghasilkan suatu gambaran global (the big picture) dari suatu masalah/topik yang akan kita bahas.

Bahasa sederhananya, yaitu kita ibaratnya mencari potongan-potongan informasi seperti halnya kalau kita mengumpulkan potongan kepingan gambar dalam permainan puzzle, lalu kita akan satukan potongan-potongan kecil itu pelan-pelan (gak usah terburu-buru, karena hasilnya tentu kurang bagus dan bisa saja analisa kita menjadi salah dan tulisan kita tidak valid), hingga akhirnya kita akan memperoleh hasil akhir yaitu gambar utuh yang bisa kita pahami. Ooo ternyata ini gambar sapi toh? Kalau kita melihat sesuatu hanya sepotong sepotong lalu buru-buru kita lakukan analisa tentu analisa kita bisa saja salah bukan?

4. Dalam melakukan pembahasan dalam tulisan kita (memulai menulis), bisa saja kita membahas mulai dari hal-hal yang global dulu, baru kemudian sampai ke hal-hal yang kecil/detil. Namun bisa juga kita mulai dari hal-hal yang kecil (potongan-potongan informasi yang berhasil kita kumpulkan) baru kita satukan dan kita bahas hingga kita bisa menyimpulkan gambaran global/keseluruhan pandangan dari suatu masalah (misalnya, dari pembahasan mengenai, buntut, kaki, perut, kepala, telinga, mulut, mata dan hidung, akhirnya kita sampai pada pembahasan mengenai makhluk apa yang kita bahas tadi. Ooo ternyata ini sapi !). Metode pembahasan dan penulisan mulai dari hal-hal kecil/potongan-potongan informasi yang kemudian disatukan dalam suatu kesimpulan akhir tentang sesuatu itu, biasa kita temui dalam tulisan-tulisan novel atau bahkan film misteri yang kita tontong di bioskop atau televisi.

5. Mengenai alur waktu kita bercerita (misal dalam penulisan cerpen atau novel), bisa kita menggunakan alur runtut (dari awal sampai akhir waktunya urut dan runtut / berkesinambungan), flash back (penceritaan dimulai dari bagian akhir dulu, kemudian baru diceritakan dari awal asal mula kok bisa terjadi seperti yang di bagian akhir itu), atau bahkan alur cerita gabungan antara alur cerita yang urut dengan alur cerita yang flash back.

Namun alur cerita gabungan, bila kita tidak pandai-pandai mengolah kata dalam tulisan kita, bisa-bisa kita malah membingungkan para pembaca (ingat tidak semua pembaca yang membaca tulisan yang kita buat adalah orang dengan kecerdasan yang mencukupi, karena mungkin saja ada beberapa dari mereka yang agak telmi/telat mikir.

Oleh sebab itu, lebih baik tulisan dan gaya bercerita atau penyajian tulisan kita seharusnya dibuat sesederhana mungkin dan bisa dimengerti oleh semua orang. Hindari bahasa-bahasa para pejabat yang pakai istilah-istilah adaptasi dari bahasa asing yang sok keren, pakailah istilah dalam bahasa Indonesia yang mudah dimengerti).


6. Mengenai gaya bercerita, sebaiknya kita memakai gaya bercerita kita sendiri, dengan kata-kata yang sederhana, mudah dimengerti, pembahasan jangan terlalu berbelit-belit, pakailah perumpamaan-perumpamaan yang mudah untuk menjelaskan sesuatu yang mungkin sedikit rumit, sehingga dengan adanya perumpamaan itu para pembaca bisa terbantu untuk memahami apa yang kita maksud. Dalam menulis, sebaiknya kita tidak perlu terlalu kaku dalam hal pemilihan diksi (pemilihan kosa kata), bisa saja kita pakai bahasa gado-gado (Indonesia-Jawa), walaupun tidak selalu disarankan.

Pendek kata, kita menjadi diri sendiri saat kita menulis sesuatu. Jangan pernah berusaha meniru gaya bercerita orang lain dari tulisan tertentu yang pernah kita baca. Tiap orang adalah pribadi yang unik, yang memiliki ciri khas dan tentu saja cara bercerita dan cara penyampaian isi pikirannya tentu akan berbeda-beda. Justru dengan ciri khas gaya penulisan dan cara bercerita kita yang unik itulah, maka akan menjadi semacam kekhasan kita (bahasa kerennya “trade mark kita”). Seperti halnya dalam dunia musik, setiap penyanyi tentu punya style/gaya dan penampilan serta genre (tema musik) yang tersendiri.


7. Tema apa yang bisa kita sajikan dalam tulisan kita? Mulai saja dengan menulis sesuatu yang sederhana yang ada di sekeliling kita. Para penulis bisa saja mengambil topik mengenai pengetahuan ilmiah, pengetahuan umum, hobi dan ketrampilan, tutorial perbengkelan/otomotif, keagamaan, pengalaman hidup yang membawa hikmah, tutorial memasak, tutorial komputer, tutorial HP, tutorial bercocok tanam/tanaman hias, tutorial desain atau bahkan tentang tips dan tutorial mengenai tata rias kecantikan, berbagai macam humor seputar dunia sekolah, kekonyolan teman, kehidupan di rumah, diri kita sendiri, atau bahkan obyek benda mati yang paling remeh sekalipun (sebagai obyek penderita yang kemudian dianggap seakan-akan sebagai makhluk hidup yang mempunyai perasaan dan emosi. Di situlah kemampuan kita untuk menceritakan segala hal maupun kejadian yang terjadi di sekitar obyek benda mati tersebut, sehingga seakan-akan obyek benda mati tersebut sebagai saksi hidup yang bisa menceritakan segala hal yang terjadi dari sudut pandang si benda mati itu.

Dengan kata-kata dan diksi yang tepat dan berkesan lugu dan polos, untuk menggambarkan setiap kejadian dan berbagai hal yang terjadi maka semua gambaran ilustrasi dalam bentuk cerita itu sudah bisa disebut sebuah karya cerita pendek yang cukup unik). Baiklah, misalnya saja kita tetapkan saja kertas tissue toilet sebagai obyek yang akan kita bahas. Kita pura-puranya memposisikan diri kita sebagai kertas tissue toilet tersebut, lalu kita bisa berangan-angan/membayangkan dan tentu saja berimajinasi apa saja yang akan dilakukan orang dengan kertas tissue toilet tersebut. Tentu saja akan muncul berbagai “versi” cara orang menggunakan kertas tissue toilet tersebut, dan bahkan mungkin ada orang yang tidak menggunakan kertas tissue toilet itu sebagaimana fungsinya.

Kita bisa juga membayangkan dan membahas tentang berbagai tipe orang yang masuk ke kamar kecil/toilet (tempat kertas tissue itu berada), mulai dari orang yang lemah lembut, grusa-grusu, sampai orang yang jorok sekalipun. Semakin unik dan semakin polos kita menggambarkan sesuatu yang berhubungan dengan kertas tissue dengan orang-orang yang menjadi pengunjung toilet, serta semakin kita bisa membawa pembaca untuk lebih “menghayati” akan “penderitaan” si kertas tissue, berarti tulisan kita sudah cukup komunikatif dengan para pembaca.


8. Bagi penulis yang tema tulisannya lebih banyak ke masalah teknis atau tutorial mengenai suatu topik tertentu, misalnya tentang Hand Phone atau komputer, tulisan tentang resep masakan, atau yang lainnya, sangat disarankan agar tulisan sebaiknya diberi ilustrasi/gambar pendukung baik gambar buatan tangan ataupun mungkin foto-foto pendukung yang “bisa memberikan gambaran” kepada para pembaca agar tulisan kita lebih komunikatif dan interaktif dengan para pembaca yang mungkin masih awam.


9. Jangan terlalu tegang dan takut salah, santai saja saat kita akan memulai menulis tentang sesuatu. Biasakan membawa buku/notes kecil atau bahkan beberapa helai potongan kertas dan bolpoin kemanapun kita pergi. Atau bahkan mungkin flash disk bagi yang mampu membelinya, Siapa tahu kita bertemu dengan hal-hal yang bisa menjadi ide untuk bahan tulisan kita, maka kita akan dengan mudah membuat poin-poin penting yang bisa dicatat di selembar kertas yang kita bawa tadi. Atau bahkan orang/kenalan yang membawa laptop yang berisi data-data/bahan-bahan yang bisa mendukung isi tulisan kita, jadi kalau kita membawa flash disk, kita bisa meminta ijin untuk mengcopy file-file data pendukung yang mungkin dimiliki orang/teman kita di komputer laptopnya.

Saat menulis jangan pernah membatasi sampai berapa halaman isi tulisan kita, karena biasanya para editor di koran, majalah atau penerbit pasti akan selalu mengedit tulisan kita. Dalam banyak kasus, tulisan kita yang semula pendek bisa disulap oleh penerbit menjadi tulisan yang sangat panjang dan detil, atau bahkan sebaliknya. Ini sesuai dengan pengalaman penulis artikel ini yang pernah mengirimkan naskah tulisan ke majalah HAI dan majalah INFO KOMPUTER. Di majalah HAI, artikel humor penulis yang saat itu panjangnya satu setengah halaman, bisa disulap oleh editor majalah HAI menjadi cukup dua alinea saja tanpa mengurangi makna isinya. Di majalah INFO KOMPUTER, naskah artikel penulis yang semula hanya tiga perempat halaman bisa disulap oleh redaksi/editor majalah INFO KOMPUTER menjadi dua halaman penuh yang dilengkapi pula dengan ilustrasi foto capture dari layar desktop komputer.


10. Jangan pernah memperkirakan atau mematok harga mati berapa honor yang seharusnya kita terima, karena tiap media cetak atau penerbit memiliki patokan harga yang berbeda-beda. Ada yang memberikan patokan honor berdasarkan jumlah artikel/topik artikel yang dimuat (dimana per artikel dihargai mulai dari Rp 80.000,- s/d Rp 100.000,- ; ini untuk media dalam negeri/Indonesia. Media asing seperti beberapa majalah di Australia dan Amerika bahkan bisa memberikan honor yang lebih tinggi yaitu antara Rp 500.000,- hingga Rp 1.000.000,- per artikel yang dimuat ; nominal mata uang sebenarnya dalam dolar dan tentu saja setelah ditransfer ke rekening kita akan berubah menjadi rupiah).

Ada pula beberapa media majalah yang memberikan patokan honor berdasarkan jumlah halaman cetak jadi yang dimuat di majalah tersebut dimana per halaman untuk tulisan yang dimuat dihargai antara Rp 70.000,- s/d Rp 100.000,-. Jadi kalau tulisan artikel kita yang tadinya pendek karena diketik dalam 1 spasi atau satu setengah spasi dengan total halaman 2 lembar misalnya, bisa jadi setelah diedit dan dilayout oleh tim redaksi majalah, tulisan kita bisa disulap menjadi 4 hingga 6 halaman atau bahkan mungkin dipersingkat menjadi kurang dari naskah aslinya. Jadi semuanya tergantung dari kebijakan tim redaksi majalah yang kita kirimi naskah artikel kita.

Biasanya, bila naskah artikel kita dimuat di suatu majalah kita akan diberikan edisi majalah yang memuat tentang tulisan kita secara gratis (disamping honor yang kita terima). Namun jangan terlalu banyak berharap karena tidak semua media cetak mempunyai kebijakan seperti itu. Bila tujuan kita menulis bukan untuk dimuat di majalah atau koran, melainkan untuk diterbitkan dalam bentuk buku, dari hasil obrolan dengan para penerbit, biasanya para penerbit memberikan royalti (hak cipta) yang dinilai dalam bentuk uang yang nominalnya biasanya sebesar 6% - 10% dari total penjualan/cetakan yang biasa dibayarkan setiap penerbit mencetak dan menerbitkan buku tulisan kita. Ada penerbit yang sekali cetak bisa berani mencetak ratusan buku atau bahkan ada yang sekali cetak bisa sampai 1000 buku atau bahkan lebih. Semua tergantung ke masing-masing penerbit.

Dalam komunikasi dengan penerbit, kita bisa berkomunikasi dengan telepon (untuk penerbit luar kota) atau mendatangi langsung ke alamat penerbit. Sedangkan untuk pengiriman naskah karya tulis kita bisa lewat pos, lewat e-mail atau bahkan diserahkan langsung dengan dibawa sendiri ke penerbit. Ada penerbit yang hanya meminta versi digital tulisan kita (dalam bentuk file Ms-Word atau RTF) yang disimpan di disket atau CD atau dikirim lewat e-mail, dan ada pula yang bahkan meminta baik versi digital tulisan kita (dalam bentuk file Ms-Word atau RTF yang disimpan di disket atau CD) maupun versi cetaknya (yang dicetak/di-print di kertas folio atau A4). Semuanya tergantung dari kebijakan masing-masing penerbit. Untuk itulah sebaiknya kita melakukan konfirmasi dan negosiasi dulu dengan penerbit tentang bentuk dan format naskah tulisan kita serta cara pengirimannya.

* * *

Tips Mengirim Naskah Artikel ke Media Massa

Sebagai penulis tentunya kita dituntut untuk selalu produktif dalam menghasilkan berbagai karya tulisan, baik itu yang berupa cerita fiksi, atau bahkan tulisan yang sifatnya informatif, seperti artikel mengenai cara berkebun, artikel resep masakan, maupun artikel mengenai segala hal yang berhubungan dengan teknologi, misalnya saja artikel tentang berbagai tips dan pembahasan mengenai software komputer terkini. Ingatlah bahwa tulisan kita bisa "dijual" dan bermanfaat bagi masyarakat secara luas.

Tentu kita tidak ingin bahwa tulisan dan naskah karya kita hanya menumpuk begitu saja di rumah, atau bahkan di hard disk komputer kita tanpa berdaya guna apa-apa. Buat apa produktif kalau kita tidak bisa menghasilkan "uang", sesuatu yang bisa sekedar menjadi insentif bagi kita untuk terus berkarya. Memang segala kegiatan tulis menulis tidak sepenuhnya harus melulu bersangkut paut dengan uang, namun tentunya sebagai penulis kita juga membutuhkan penghasilan untuk dapat terus "hidup" dan "eksis" melalui tulisan-tulisan kita. Honor yang kita dapat dari menulis selanjutnya bisa kita gunakan untuk berbagai keperluan riset, misalnya, atau paling tidak untuk membiayai pengeluaran "perangko" atau untuk membiayai "ongkos mengirim artikel melalui internet di warnet". Oleh karena itulah, sedapat mungkin setiap naskah tulisan kita hendaknya berbobot, berkualitas dan bernilai "jual" sehingga bisa layak dimuat di berbagai media massa baik lingkup nasional maupun internasional.

Karena dewasa ini dunia internet sudah begitu akrab di kalangan para penulis dan banyak membantu dalam pengiriman naskah artikel dengan biaya yang lebih murah, cepat dan efisien, maka dalam artikel tips kali ini akan dimuat beberapa alamat e-mail redaksi media massa mulai dari surat kabar, tabloid hingga majalah. Semoga alamat-alamat e-mail ini cukup berguna bagi para penulis yang ingin "mengadu nasib" mengirimkan naskah-naskah artikelnya.

Naskah artikel bisa dilampirkan sebagai file attachment (file lampiran) dalam e-mail yang kita kirim ke redaksi media massa. Tentunya di e-mail yang kita kirim tersebut, sebaiknya kita berikan surat pengantar yang berisikan mengenai data pribadi kita, seperti nama, alamat, pendidikan terakhir penulis, minat dan spesialisasi penulis, nomor telepon, alamat e-mail hingga nomor rekening bank untuk menampung honor dari media massa bila tulisan kita dimuat. Biasanya kita baru akan menerima respon atau konfirmasi dimuat tidaknya karya tulis kita antara 1 hingga 2 bulan semenjak tanggal pengiriman naskah artikel.

Source: http://tutorialmenulis.blog.com/1486937/
- Tutorial Menulis Buku dan Artikel

JURUS MENEMBUS MEDIA CETAK

JURUS MENEMBUS MEDIA CETAK
Oleh : Vita Priyambada (Forum Penulis Kota Malang) - Disampaikan pada Sarasehan Menulis Produktif : Kiat Menembus Penerbit, Koran dan Lomba-Lomba Kepenulisan, UKM Penulis (UKMP) Universitas Negeri Malang, 24 November 2006

Setiap orang bisa menulis. Untuk menjadi penulis yang baik, ketrampilan menulis harus terus menerus dilatih. Selanjutnya tetapkan tujuan, untuk apa menulis? Untuk diri sendiri atau karya itu akan dipublikasikan agar dibaca banyak orang? Supaya karya penulis bisa dipublikasikan, diperlukan jurus-jurus agar tulisan dimuat di media cetak. Apa saja?

Faktor Teknis

1. Gagasan
Gagasan bisa datang dari mana dan kapan saja karena sesungguhnya gagasan berserakan di mana-mana. Dari pengamatan, pengalaman, membaca, dsb. Untuk itu usahakan selalu membawa alat tulis ke mana saja. Bila memperoleh gagasan apalagi dalam kondisi ide “mengalir deras”, segera tulis ide-ide pokoknya. Hal ini untuk mencegah hilangnya gagasan. Dalam keadaan demikian kadang kecepatan tangan menulis tidak bisa mengimbangi kecepatan pikiran dengan seabreg gagasan yang lalu lalang.

2. Kerangka Karangan
Membuat kerangka karangan hanya untuk memudahkan penulis mengembangkan naskah. Setiap penulis mempunyai cara sendiri untuk membuat naskah, apakah membutuhkan kerangka karangan atau tidak. Tulis karangan yang disukai dan dikuasai saja karena akan lebih memudahkan penulis menuangkan gagasan secara utuh. Pengetahuan dasar penulis sering mempengaruhi mutu tulisannya.

3. Penulis spesialis/generalis
Pada awalnya mungkin penulis pemula akan membuat tulisan yang bermacam-macam seperti opini, artikel, cerpen, puisi (penulis generalis). Tetapi semakin sering menulis, pikirannya akan semakin terasah dan mutu tulisannya akan meningkat. Lama kelamaan penulis akan menemukan ciri khas, karakter dan kekuatannya sendiri, apakah lebih kuat menulis artikel, cerpen, essai, dsb. Dengan menjadi penulis spesialis, kita akan lebih cepat diakui sebagai pakar di bidang tertentu.

4. Pengiriman naskah
Ada baiknya pengiriman artikel pertama ke media dilakukan melalui pos sebagai salam perkenalan dengan menyertakan fotokopi identitas dan surat pengantar. Bila perlu, pengalaman menulis (jika sudah ada) dicantumkan untuk memperkuat pengakuan. Apabila sudah kenal redakturnya, pengiriman lewat surat elektronik (email) dapat dilakukan. Di zaman serba cepat sekarang ini, sesungguhnya tidak ada larangan mengirim artikel lewat e-mail, asalkan ada surat pengantar.

Faktor Nonteknis

1. Karakter media
Masing-masing media mempunyai karakter. Ini berlaku untuk surat kabar harian, majalah dan tabloid. Penulis perlu memperhatikan, mengetahui dan memahami karakter tulisan di media menyangkut segmen pembaca, pilihan tema dan gaya bahasa. Caranya dengan mempelajari artikel-artikel yang sudah dimuat. Contoh : Tabloid Nova dan Nakita membidik para ibu rumah tangga dan keluarga. Majalah Femina membidik para lajang dan ibu rumah tangga menengah ke atas. Gaya bahasa resmi dipakai harian Kompas karena segmen pembacanya luas (nasional). Harian Kedaulatan Rakyat dan Jawa Pos yang merupakan koran daerah menyelaraskan gaya bahasa sesuai dengan kebudayaan setempat yang kadang menyelipkan bahasa daerah setempat.

2. Kenali redakturnya
Bila memungkinkan, bicarakan dengan redaktur sebelum mengirim tulisan. Tanyakan tulisan macam apa yang layak dimuat dan tema apa yang diutamakan. Dari pembicaraan ini penulis dapat mengetahui selera redaktur terhadap naskah yang akan dimuat. Pergantian redaktur kadang mengubah selera tulisan yang dimuat.

3. Kebijaksanaan redaksional
Penulis perlu mengetahui syarat-syarat mengirim naskah seperti panjang pendek tulisan, banyaknya karakter, ketentuan spasi, dsb.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan!
  • Jangan menjiplak.
  • Jangan mengirim tulisan yang sama ke banyak media.
Buku-buku yang disarankan untuk dibaca:
  • Among Kurnia Ebo, Menulis Nggak Perlu Bakat, MU: 3 Books, Jakarta, 2005.
  • Andrias Harefa, Agar menulis Mengarang Bisa Gampang, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002.
  • Bambang Trim, Saya Bermimpi Menulis Buku, Kolbu Publishing, Bandung, 2005.
  • Carmel Bird, Menulis dengan Emosi - Panduan Empatik Mengarang Fiksi, Kaifa, Bandung, 2001.
  • Caryn Mirriam-Goldberg, Daripada Bete Nuli Aja !, Kaifa, Bandung, 2003.
  • Edi Zaqeus, Resep Cespleng Menulis Buku Best Seller, Gradien Book, Yogyakarta, 2005.
  • Hernowo, Mengikat Makna : Kiat-Kiat Ampuh untuk Melejitkan Kemauan Plus Kemampuan Membaca dan Menulis Buku, Kaifa, Bandung, 2001.
  • Jordan E. Ayan, Bengkel Kreativitas, Kaifa/Mizan, Bandung, 2002.
  • Josip Novakovich, Berguru kepada Sastrawan Dunia: Buku Wajib Menulis Fiksi, Kaifa, Bandung, 2003.
  • M. Arief Hakim, Kiat Menulis Artikel di Media dari Pemula Sampai Mahir, Nuansa Cendekia, Bandung, 2004.
  • Mark Levy, Menjadi Genius dengan Menulis, Kaifa/Mizan, Bandung.
  • Zaenuddin, H.M., Freelance Media - Cara Gampang Cari Uang, Milenia Populer, Jakarta, 2003. dan lain-lain.
BACAAN ANJURAN LAINNYA
  • Majalah Matabaca, bulanan, Gramedia.
  • Suplemen Ruang Baca, koran Tempo hari Minggu terakhir setiap bulan.
  • Pustakaloka, Kompas hari Sabtu III dan IV.
  • Rubrik Pustaka dan Selisik, Republika setiap hari Minggu.
Mailing List komunitas penulis yang lain:
  • penulisbestseller@yahoogroups.com
  • penulislepas@yahoogroups.com
Konsultasi
  • Edy Zaqeus edzaqeus@yahoo.com atau edzaqeus@pembelajar.com

Buka Hati dan Mata
Ungkapkan dengan Kata
Kabarkan lewat Tinta
Untuk Berkarya

“Buku adalah teman yang paling setia. Dia selalu hadir saat susah dan senang. Cintai dan sayangilah dia”.
- JURUS MENEMBUS MEDIA CETAK
 


  © Blogger templates 4Kolom by abdi-husairi.blogspot.com 2009

Back to TOP