Popular Posts

Saturday, November 29, 2008

Biografi Lengkap PRAMOEDYA AT

Pramoedya Ananta Toer
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Pramoedya Ananta Toer (Blora, Jawa Tengah 6 Februari 1925 – Jakarta 30 April 2006) secara luas dianggap sebagai salah satu pengarang yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Pramoedya telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing.

Masa Kecil

Pramoedya dilahirkan di Blora, di jantung Pulau Jawa, pada 1925 sebagai anak sulung dalam keluarganya. Ayahnya adalah seorang guru, sedangkan ibunya berdagang nasi.

Nama asli Pramoedya adalah Pramoedya Ananta Mastoer, sebagaimana yang tertulis dalam koleksi cerita pendek semi-otobiografinya yang berjudul Cerita Dari Blora. Karena nama keluarga Mastoer (nama ayahnya) dirasakan terlalu aristokratik, ia menghilangkan awalan Jawa "Mas" dari nama tersebut dan menggunakan "Toer" sebagai nama keluarganya.

Pramoedya menempuh pendidikan pada Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya, dan kemudian bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia.

Pasca Kemerdekaan Indonesia

Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan kerap ditempatkan di Jakarta pada akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen serta buku di sepanjang karir militernya dan ketika dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an ia tinggal di Belanda sebagai bagian dari program pertukaran budaya, dan ketika kembali ke Indonesia ia menjadi anggota Lekra, salah satu organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya Korupsi, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Hal ini menciptakan friksi antara dia dan pemerintahan Soekarno.

Selama masa itu, ia mulai mempelajari penyiksaan terhadap Tionghoa Indonesia, kemudian pada saat yang sama, ia pun mulai berhubungan erat dengan para penulis di Tiongkok. Khususnya, ia menerbitkan rangkaian surat-menyurat dengan penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia, berjudul Hoakiau di Indonesia. Ia merupakan kritikus yang tak mengacuhkan pemerintahan Jawa-sentris pada keperluan dan keinginan dari daerah lain di Indonesia, dan secara terkenal mengusulkan bahwa pemerintahan mesti dipindahkan ke luar Jawa. Pada 1960-an ia ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan pro-Komunis Tiongkoknya. Bukunya dilarang dari peredaran, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau Buru di kawasan timur Indonesia.

Penahanan dan Masa Setelahnya

Selain pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada masa Orde Lama, selama masa Orde Baru Pramoedya merasakan 14 tahun ditahan sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan.
  • 13 Oktober 1965 - Juli 1969
  • Juli 1969 - 16 Agustus 1969 di Pulau Nusakambangan
  • Agustus 1969 - 12 November 1979 di Pulau Buru
  • November - 21 Desember 1979 di Magelang
Ia dilarang menulis selama masa penahanannya di Pulau Buru, namun tetap mengatur untuk menulis serial karya terkenalnya yang berjudul Bumi Manusia, serial 4 kronik novel semi-fiksi sejarah Indonesia. Tokoh utamanya Minke, bangsawan kecil Jawa, dicerminkan pada pengalaman RM Tirto Adisuryo seorang tokoh pergerakkan pada jaman kolonial yang mendirikan organisasi Sarekat Priyayi dan diakui oleh Pramoedya sebagai organisasi nasional pertama. Jilid pertamanya dibawakan secara oral pada para kawan sepenjaranya, dan sisanya diselundupkan ke luar negeri untuk dikoleksi pengarang Australia dan kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Indonesia.

Pramoedya dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat G30S/PKI, tapi masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999, dan juga wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun.

Selama masa itu ia menulis Gadis Pantai, novel semi-fiksi lainnya berdasarkan pengalaman neneknya sendiri. Ia juga menulis Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), otobiografi berdasarkan tulisan yang ditulisnya untuk putrinya namun tak diizinkan untuk dikirimkan, dan Arus Balik (1995).

Kontroversi

Ketika Pramoedya mendapatkan Ramon Magsaysay Award, 1995, diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia menulis surat 'protes' ke yayasan Ramon Magsaysay. Mereka tidak setuju, Pramoedya yang dituding sebagai "jubir sekaligus algojo Lekra paling galak, menghantam, menggasak, membantai dan mengganyang" di masa demokrasi terpimpin, tidak pantas diberikan hadiah dan menuntut pencabutan penghargaan yang dianugerahkan kepada Pramoedya.

Tetapi beberapa hari kemudian, Taufik Ismail sebagai pemrakarsa, meralat pemberitaan itu. Katanya, bukan menuntut 'pencabutan', tetapi mengingatkan 'siapa Pramoedya itu'. Katanya, banyak orang tidak mengetahui 'reputasi gelap' Pram dulu. Dan pemberian penghargaan Magsaysay dikatakan sebagai suatu kecerobohan. Tetapi di pihak lain, Mochtar Lubis malah mengancam mengembalikan hadiah Magsaysay yang dianugerahkan padanya di tahun 1958, jika Pram tetap akan dianugerahkan hadiah yang sama.

Lubis juga mengatakan, HB Jassin pun akan mengembalikan hadiah Magsaysay yang pernah diterimanya. Tetapi, ternyata dalam pemberitaan berikutnya, HB Jassin malah mengatakan yang lain sama sekali dari pernyataan Mochtar Lubis.

Dalam berbagai opini-opininya di media, para penandatangan petisi 26 ini merasa sebagai korban dari keadaan pra-1965. Dan mereka menuntut pertanggungan jawab Pram, untuk mengakui dan meminta maaf akan segala peran 'tidak terpuji' pada 'masa paling gelap bagi kreativitas' pada jaman Demokrasi Terpimpin. Pram, kata Mochtar Lubis, memimpin penindasan sesama seniman yang tak sepaham dengannya.

Sementara Pramoedya sendiri menilai segala tulisan dan pidatonya di masa pra-1965 itu tidak lebih dari 'golongan polemik biasa' yang boleh diikuti siapa saja. Dia menyangkal terlibat dalam pelbagai aksi yang 'kelewat jauh'. Dia juga merasa difitnah, ketika dituduh ikut membakar buku segala. Bahkan dia menyarankan agar perkaranya dibawa ke pengadilan saja jika memang materi cukup. Kalau tidak cukup, bawa ke forum terbuka, katanya, tetapi dengan ketentuan saya boleh menjawab dan membela diri, tambahnya.

Semenjak Orde Baru berkuasa, Pramoedya tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan suaranya sendiri, dan telah beberapa kali dirinya diserang dan dikeroyok secara terbuka di koran.

Tetapi dalam pemaparan pelukis Joko Pekik, yang juga pernah menjadi tahanan di Pulau Buru, ia menyebut Pramoedya sebagai 'juru-tulis'. Pekerjaan juru-tulis yang dimaksud oleh Joko Pekik adalah Pramoedya mendapat 'pekerjaan' dari petugas Pulau Buru sebagai tukang ketiknya mereka. Bahkan menurut Joko Pekik, nasib Pramoedya lebih baik dari umumnya tahanan yang ada. Statusnya sebagai tokoh seniman yang oleh media disebar-luaskan secara internasional, menjadikan dia hidup dengan fasilitas yang lumayan - apalagi kalau ada tamu dari 'luar' yang datang pasti Pramoedya akan menjadi 'bintangnya'.

Masa Tua

Pramoedya telah menulis banyak kolom dan artikel pendek yang mengkritik pemerintahan Indonesia terkini. Ia menulis buku Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer, dokumentasi yang ditulis dalam gaya menyedihkan para wanita Jawa yang dipaksa menjadi wanita penghibur selama masa pendudukan Jepang. Semuanya dibawa ke Pulau Buru di mana mereka mengalami kekerasan seksual, mengakhiri tinggal di sana daripada kembali ke Jawa. Pramoedya membuat perkenalannya saat ia sendiri merupakan tahanan politik di Pulau Buru selama masa 1970-an.

Banyak dari tulisannya menyentuh tema interaksi antarbudaya; antara Belanda, kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum, dan Tionghoa. Banyak dari tulisannya juga semi-otobiografi, di mana ia menggambar pengalamannya sendiri. Ia terus aktif sebagai penulis dan kolumnis.

Ia memperoleh Ramon Magsaysay Award untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif 1995. Ia juga telah dipertimbangkan untuk Hadiah Nobel Sastra. Ia juga memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI 2000 dan pada 2004 Norwegian Authors' Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia. Ia menyelesaikan perjalanan ke Amerika Utara pada 1999 dan memperoleh penghargaan dari Universitas Michigan.

Sampai akhir hayatnya ia aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun akibat usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok. Pada 12 Januari 2006, ia dikabarkan telah dua minggu terbaring sakit di rumahnya di Bojong Gede, Bogor, dan dirawat di rumah sakit. Menurut laporan, Pramoedya menderita diabetes, sesak napas dan jantungnya melemah.

Pada 6 Februari 2006 di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, diadakan pameran khusus tentang sampul buku dari karya Pramoedya. Pameran ini sekaligus hadiah ulang tahun ke-81 untuk Pramoedya. Pameran bertajuk Pram, Buku dan Angkatan Muda menghadirkan sampul-sampul buku yang pernah diterbitkan di mancanegara. Ada sekitar 200 buku yang pernah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia.

Berpulang

Pada 27 April 2006, Pram sempat tak sadar diri. Pihak keluarga akhirnya memutuskan membawa dia ke RS Sint Carolus hari itu juga. Pram didiagnosis menderita radang paru-paru, penyakit yang selama ini tidak pernah menjangkitinya, ditambah komplikasi ginjal, jantung, dan diabetes.

Pram hanya bertahan tiga hari di rumah sakit. Setelah sadar, dia kembali meminta pulang. Meski permintaan itu tidak direstui dokter, Pram bersikeras ingin pulang. Sabtu 29 April, sekitar pukul 19.00, begitu sampai di rumahnya, kondisinya jauh lebih baik. Meski masih kritis, Pram sudah bisa memiringkan badannya dan menggerak-gerakkan tangannya.

Kondisinya sempat memburuk lagi pada pukul 20.00. Pram masih dapat tersenyum dan mengepalkan tangan ketika sastrawan Eka Budianta menjenguknya. Pram juga tertawa saat dibisiki para penggemar yang menjenguknya bahwa Soeharto masih hidup. Kondisi Pram memang sempat membaik, lalu kritis lagi. Pram kemudian sempat mencopot selang infus dan menyatakan bahwa dirinya sudah sembuh. Dia lantas meminta disuapi havermut dan meminta rokok. Tapi, tentu saja permintaan tersebut tidak diluluskan keluarga. Mereka hanya menempelkan batang rokok di mulut Pram tanpa menyulutnya. Kondisi tersebut bertahan hingga pukul 22.00.

Setelah itu, beberapa kali dia kembali mengalami masa kritis. Pihak keluarga pun memutuskan menggelar tahlilan untuk mendoakan Pram. Pasang surut kondisi Pram tersebut terus berlangsung hingga pukul 02.00. Saat itu, dia menyatakan agar Tuhan segera menjemputnya. "Dorong saja saya," ujarnya. Namun, teman-teman dan kerabat yang menjaga Pram tak lelah memberi semangat hidup. Rumah Pram yang asri tidak hanya dipenuhi anak, cucu, dan cicitnya. Tapi, teman-teman hingga para penggemarnya ikut menunggui Pram.

Kabar meninggalnya Pram sempat tersiar sejak pukul 03.00. Tetangga-tetangga sudah menerima kabar duka tersebut. Namun, pukul 05.00, mereka kembali mendengar bahwa Pram masih hidup. Terakhir, ketika ajal menjemput, Pram sempat mengerang, "Akhiri saja saya. Bakar saya sekarang," katanya.

Pada 30 April 2006 pukul 08.55 Pramoedya wafat dalam usia 81 tahun.

Ratusan pelayat tampak memenuhi rumah dan pekarangan Pram di Jalan Multikarya II No 26, Utan Kayu, Jakarta Timur. Pelayat yang hadir antara lain Sitor Situmorang, Erry Riyana Hardjapamekas, Nurul Arifin dan suami, Usman Hamid, Putu Wijaya, Goenawan Mohamad, Gus Solah, Ratna Sarumpaet, Budiman Sujatmiko, serta puluhan aktivis, sastrawan, dan cendekiawan. Hadir juga Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik. Terlihat sejumlah karangan bunga tanda duka, antara lain dari KontraS, Wapres Jusuf Kalla, artis Happy Salma, pengurus DPD PDI Perjuangan, Dewan Kesenian Jakarta, dan lain-lain. Teman-teman Pram yang pernah ditahan di Pulau Buru juga hadir melayat. Temasuk para anak muda fans Pram.

Jenazah dimandikan pukul 12.30 WIB, lalu disalatkan. Setelah itu, dibawa keluar rumah untuk dimasukkan ke ambulans yang membawa Pram ke TPU Karet Bivak. Terdengar lagu Internationale dan Darah Juang dinyanyikan di antara pelayat.

Penghargaan
  • Freedom to Write Award dari PEN American Center, AS, 1988
  • Penghargaan dari The Fund for Free Expression, New York, AS, 1989
  • Wertheim Award, "for his meritorious services to the struggle for emancipation of Indonesian people", dari The Wertheim Fondation, Leiden, Belanda, 1995
  • Ramon Magsaysay Award, "for Journalism, Literature, and Creative Arts, in recognation of his illuminating with briliant stories the historical awakening, and modern experience of Indonesian people", dari Ramon Magsaysay Award Foundation, Manila, Filipina, 1995
  • UNESCO Madanjeet Singh Prize, "In recognition of his outstanding contribution to the promotion of tolerance and non-violance" dari UNESCO, Perancis, 1996
  • Doctor of Humane Letters, "In recognition of his remarkable imagination and distinguished literary contributions, his example to all who oppose tyranny, and his highly principled struggle for intellectual freedom" dari Universitas Michigan, Madison, AS, 1999
  • Chancellor's distinguished Honor Award, "for his outstanding literary archievements and for his contributions to ethnic tolerance and global understanding", dari Universitas California, Berkeley, AS, 1999
  • Chevalier de l'Ordre des Arts et des Letters, dari Le Ministre de la Culture et de la Communication Republique, Paris, Perancis, 1999
  • New York Foundation for the Arts Award, New York, AS, 2000
  • Fukuoka Cultural Grand Prize (Hadiah Budaya Asia Fukuoka), Jepang, 2000
  • The Norwegian Authors Union, 2004
  • Centenario Pablo Neruda, Chili, 2004
Lain-Lain
  • Anggota Nederland Center, ketika masih di Pulau Buru, 1978
  • Anggota kehormatan seumur hidup dari International PEN Australia Center, 1982
  • Anggota kehormatan PEN Center, Swedia, 1982
  • Anggota kehormatan PEN American Center, AS, 1987
  • Deutschsweizeriches PEN member, Zentrum, Swiss, 1988
  • International PEN English Center Award, Inggris, 1992
  • International PEN Award Association of Writers Zentrum Deutschland, Jerman, 1999
Bibliografi

Kecuali judul pertama, semua judul sudah disesuaikan ke dalam Ejaan Yang Disempurnakan.
  • Sepoeloeh Kepala Nica (1946), hilang di tangan penerbit Balingka, Pasar Baru, Jakarta, 1947
  • Kranji–Bekasi Jatuh (1947), fragmen dari Di Tepi Kali Bekasi
  • Perburuan (1950), pemenang sayembara Balai Pustaka, Jakarta, 1949
  • Keluarga Gerilya (1950)Subuh (1951), kumpulan 3 cerpen
  • Percikan Revolusi (1951), kumpulan cerpen
  • Mereka yang Dilumpuhkan (I & II) (1951)
  • Bukan Pasarmalam (1951)
  • Di Tepi Kali Bekasi (1951), dari sisa naskah yang dirampas Marinir Belanda pada 22 Juli 1947
  • Dia yang Menyerah (1951), kemudian dicetak ulang dalam kumpulan cerpen
  • Cerita dari Blora (1952), pemenang karya sastra terbaik dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional, Jakarta, 1953
  • Gulat di Jakarta (1953)
  • Midah Si Manis Bergigi Emas (1954)
  • Korupsi (1954)
  • Mari Mengarang (1954), tak jelas nasibnya di tangan penerbit
  • Cerita Dari Jakarta (1957)
  • Cerita Calon Arang (1957)
  • Sekali Peristiwa di Banten Selatan (1958)
  • Panggil Aku Kartini Saja (I & II, 1963; III & IV dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
  • Kumpulan Karya Kartini, yang pernah diumumkan di berbagai media; dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
  • Wanita Sebelum Kartini; dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
  • Gadis Pantai (1962-65) dalam bentuk cerita bersambung, bagian pertama triologi tentang keluarga Pramoedya; terbit sebagai buku, 1987; dilarang Jaksa Agung. Jilid II & III dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
  • Sejarah Bahasa Indonesia. Satu Percobaan (1964); dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
  • Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia (1963)
  • Lentera (1965), tak jelas nasibnya di tangan penerbit
  • Bumi Manusia (1980); dilarang Jaksa Agung, 1981
  • Anak Semua Bangsa (1981); dilarang Jaksa Agung, 1981
  • Sikap dan Peran Intelektual di Dunia Ketiga (1981)
  • Tempo Doeloe (1982), antologi sastra pra-Indonesia
  • Jejak Langkah (1985); dilarang Jaksa Agung, 1985
  • Sang Pemula (1985); dilarang Jaksa Agung, 1985
  • Hikayat Siti Mariah, (ed.) Hadji Moekti, (1987); dilarang Jaksa Agung, 1987
  • Rumah Kaca (1988); dilarang Jaksa Agung, 1988
  • Memoar Oei Tjoe Tat, (ed.) Oei Tjoe Tat, (1995); dilarang Jaksa Agung, 1995
  • Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I (1995); dilarang Jaksa Agung, 1995
  • Arus Balik (1995)
  • Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II (1997)
  • Arok Dedes (1999)Mangir (2000)
  • Larasati (2000)
  • Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (2005)
Buku tentang Pramoedya dan Karyanya
  • Pramoedya Ananta Toer dan Karja Seninja, oleh Bahrum Rangkuti (Penerbit Gunung Agung)
  • Citra Manusia Indonesia dalam Karya Pramoedya Ananta Toer, oleh A. Teeuw (Pustaka Jaya)
  • Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis, oleh Eka Kurniawan (Gramedia Pustaka Utama)
  • Membaca Katrologi Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer, oleh Apsanti Djokosujatno (Tera Indonesia)
  • Pramoedya Ananta Toer dan Manifestasi Karya Sastra, Daniel Mahendra, dkk (Penerbit Malka)
- Biografi Lengkap PRAMOEDYA AT

Biography of Pramoedya AT

Pramoedya Ananta Toer
From Wikipedia, the free encyclopedia

Pramoedya Ananta Toer (6 February 1925 – 30 April 2006) was an Indonesian author of novels, short stories, essays, polemic and histories of his homeland and its people. His works span the colonial period, Indonesia's struggle for independence, the occupation by Japan during WWII, as well as the post-colonial authoritarian regimes of Sukarno and Suharto and are infused with personal and national history.

Pramoedya's writings sometimes fell out of favor with the colonial and later the authoritarian native governments in power. Pramoedya faced censorship in Indonesia during the pre-reformation era even as his renown outside Indonesia was growing. During the changeover to the Suharto regime Pramoedya was caught up in the shifting tides of political change and power struggles in Indonesia. He was seen as a holdover from the previous regime (even though he had struggled with the former regime as well) and was banished for years to Buru island where political prisoners were kept and where he composed his most famous work the Buru Quartet as an epic he recited orally to other prisoners, before it was written down and smuggled out.

Toer opposed some policies of both founding president Sukarno, as well as those of its successor, the New Order regime of Suharto, but the political criticisms are often subtle in his writing, though he was outspoken against colonialism and racism. During the many years in which he suffered imprisonment and house arrest, he became a cause célèbre for advocates of freedom of expression and human rights.

Early Years

Pramoedya was born on February 6, 1925, in the town of Blora in the heartland of Java, then a part of the Dutch East Indies. He was the firstborn son in his family; his father was a teacher, who was also active in Boedi Oetomo (the first recognized national organization in Indonesia) and his mother was a rice trader. His maternal grandfather had taken the pilgrimage to Mecca.[2] As it is written in his semi-autobiographical collection of short stories "Cerita Dari Blora", the name was actually Pramoedya Ananta Mastoer. But he felt that the family name Mastoer (his father's name) seemed too aristocratic. The Javanese prefix "Mas" refers to a man of the lowest rank in a noble family. Consequently he omitted "Mas" and kept Toer as his family name. He went on to the Radio Vocational School in Surabaya but had barely graduated from the school when Japan invaded Surabaya (1942).

During World War II, Pramoedya (like many Indonesian Nationalists, Sukarno and Suharto among them) at first supported the occupying forces of Imperial Japan. He believed the Japanese to be the lesser of two evils, compared to the Dutch. He worked as a typist for a Japanese newspaper in Jakarta. As the war went on, however, Indonesians were dismayed by the austerity of wartime rationing and by increasingly harsh measures taken by the Japanese military. The Nationalist forces loyal to Sukarno switched their support to the incoming Allies against Japan; all indications are that Pramoedya did as well.

On August 17, 1945, after the news of Allied victory over Japan reached Indonesia, Sukarno proclaimed Indonesian independence. This touched off the Indonesian National Revolution against the forces of the British and Dutch. In this war, Pramoedya joined a paramilitary group in Karawang, Kranji (West Java) and eventually was stationed in Jakarta. During this time he wrote short stories and books, as well as propaganda for the Nationalist cause. He was eventually imprisoned by the Dutch in Jakarta in 1947 and remained there until 1949, the year the Netherlands recognized Indonesian independence. While imprisoned in Bukit Duri from 1947 to 1949 for his role in the Indonesian Revolution, he wrote his first major novel The Fugitive.

Post-Independence Prominence

In the first years after the struggle for independence, Pramoedya wrote several works of fiction dealing with the problems of the newly founded nation, as well as semi-autobiographical works based on his wartime memoirs. He was soon able to live in the Netherlands as part of a cultural exchange program. In the years that followed, he took an interest in several other cultural exchanges, including trips to the Soviet Union and the People's Republic of China, as well as translations of Russian writers Maxim Gorky and Leo Tolstoy.

In Indonesia, Pramoedya built up a reputation as a literary and social critic, joining the left-wing writers' group Lekra and writing in various newspapers and literary journals. His writing style became more politically charged, as evidenced in his story Korupsi (Corruption), a critical fiction of a civil servant who falls into the trap of corruption. This created friction between him and the government of Sukarno.

From the late 1950s, Pramoedya began teaching literary history at the left-wing Universitas Res Publica. As he prepared material, he began to realise that the study of Indonesian language and literature had been distorted by the Dutch colonial authorities. He sought out materials that had been ignored by colonial educational institutions, and which had continued to be ignored after independence.

Having spent time in China, he became greatly sympathetic to the Indonesian Chinese over the persecutions they faced in postcolonial Indonesia. Most notably, he published a series of letters addressed to an imagined Chinese correspondent discussing the history of the Indonesian Chinese, called Hoakiau di Indonesia (History of the Overseas Chinese in Indonesia). He criticized the government for being too Java-centric and insensitive to the needs and desires of the other regions and peoples of Indonesia. As a result, he was arrested by the Indonesian military and jailed at Cipinang prison for nine months.

Imprisonment under Suharto

In October 1965 there was a coup and the army took power after alleging that the assassination of several senior generals was masterminded by the Communist Party of Indonesia. The transition to Suharto's New Order followed, and Pramoedya's position as the head of People's Cultural Organisation, a literary wing of the Indonesian Communist Party caused him to be considered a communist and enemy of the "New Order" regime. During the violent anti-Communist purge, he was arrested, beaten, and imprisoned by Suharto's government and named a tapol ("political prisoner"). His books were banned from circulation, and he was imprisoned without trial, first in Nusa Kambangan off the coast of Java, and then in the penal colony of Buru in the eastern islands of the Indonesian archipelago.

He was banned from writing during his imprisonment on the island of Buru, but still managed to compose - orally - his best-known series of work to date, the Buru Quartet, a series of four historical fiction novels chronicling the development of Indonesian nationalism and based in part on his own experiences growing up. The English titles of the books in the quartet are This Earth of Mankind, Child of All Nations, Footsteps, and House of Glass. The main character of the series, Minke, a Javanese minor royal, was based in part on an Indonesian journalist active in the nationalist movement, Tirto Adhi Surjo.

The quartet includes strong female characters of Indonesian and Chinese ethnicity, and address the discriminations and indignities of living under colonial rule, the struggle for personal and national political independence. Like much of Pramoedya's work they tell personal stories and focus on individuals caught up in the tide of a nation's history.

Pramoedya had done research for the books before his imprisonment in the Buru prison camp. When he was arrested his library was burned and much of his collection and early writings were lost. On the prison colony island of Buru he was not permitted even to have a pencil. Doubting that he would ever be able to write the novels down himself, he narrated them to his fellow prisoners. With the support of the other prisoners who took on extra labor to reduce his workload, Pramoedya was eventually able to write the novels down, and the published works derive their name "Buru Quartet" from the prison where he produced them. They have been collected and published in English (translated by Max Lane) and Indonesian, as well as many other languages. Though the work is considered a classic by many outside of Indonesia, publication was banned in Indonesia causing one of the most famous of Indonesia's literary works to be largely unavailable to the country's people whose history it addressed. Copies were scanned by Indonesians abroad and distributed via the Internet to people inside the country.

Pramoedya's works on colonial Indonesia recognised the importance of Islam as a vehicle for popular opposition to the Dutch, but his works are not overtly religious. He rejected those who used religion to deny critical thinking, and on occasion wrote with considerable negativity to the religiously pious. One author has speculated this may have resulted from a low number of Hajjis in his native Blora and resentment of his Haji grandfather's divorce and abandonment of his grandmother.

Release and Subsequent Works

Pramoedya was released from imprisonment in 1979, but remained under house arrest in Jakarta until 1992. During this time he released The Girl From the Coast, another semi-fictional novel based on his grandmother's own experience (volumes 2 and 3 of this work were destroyed along with his library in 1965). He also wrote Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995); A Mute's Soliloquy), an autobiography based on the letters that he wrote for his daughter from imprisonment in Buru but were not allowed to be sent, and Arus Balik (1995).

He wrote many columns and short articles criticizing the Indonesian government. He wrote a book Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer (Young Virgins in the Military's Grip), a documentary written in the style of a novel showcasing the plight of Javanese women who were forced to become comfort women during the Japanese occupation. They were brought to the island of Buru where they were sexually abused, and ended up staying there instead of returning to Java. Pramoedya made their acquaintance when he himself was a political prisoner on the Buru island in the 1970s.

Pramoedya was hospitalized on April 27th 2006, for complications brought on by diabetes and heart disease. He was also a heavy smoker of clove cigarettes and had endured years of abuse while in detention. He died on April 30th 2006 at the age of 81. Pramoedya earned several accolades, and was frequently discussed as Indonesia's and Southeast Asia's best candidate for a Nobel Prize in Literature.

Pramoedya's writings on Indonesia are not unlike those of Salman Rushdie's on India in addressing the international and regional currents caused by political events in history and how these events flowed through his homeland and buffered its people. Pramoedya also shares a personal history of hardship and detention for his efforts of self-expression and the political aspects of his writings, and struggled against the censorship of his work by the leaders of his own people.

Notes

Javanese do not have surnames in the Western sense. Toer is not Pramoedya's family name, and usually he is formally addressed as only Mr Pramoedya.Vickers, Adrian (2005). A History of Modern Indonesia. New York: Cambridge University Press, p.53. ISBN 0-521-54262-2.

- Biography of Pramoedya AT

Biographical Article: PRAMOEDYA

Biographical Article: PRAMOEDYA ANANTA TOER

"I'm bored with being an author," Pramoedya Ananta Toer pronounced in late 1984. Properly, he said, he should have just been a farmer, like his childhood aspirations. However, he was still carrying out his "duty to report" after having been released from Buru Island for around five years. Pram it seems has no skills aside from writing. Now he is preparing a Geographical Dictionary.

Pram is driven to compile the dictionary, they say, because no other writer has done anything like it. But that is probably not the only reason. After his novels The Human Earth and Child of All Nations, which he wrote in Buru, were prohibited from circulating, writing a dictionary was in fact safer.

His father, Toer, a former teacher and activist with the Blora branch of the PNI who was also a writer, seems to have had a lot of influence on Pram's perspective. Besides, Pram once went to school at the Taman Siswa, which was nationalist in conception. Beginning with his appearance through the short story "Kemana" in the magazine Pancaraya, 1947, Pram's name grew prominent with the novel Kranji-Bekasi Jatuh in the same year. Also that year he finished Sepuluh Kepala Nica, which was lost in the hands of Balingka Publishers, Pasar Baru, Jakarta.

A former second lieutenant in the Siliwangi Division, Pramoedya was later imprisoned in Bukit Duri jail, Jakarta (1948-1949). It was there that he wrote the short story collection Percikan Revolusi and the novel Perburuan (winning First Prize from the Balai Pustaka). On getting out of jail, Pram wrote the short story "Mereka yang Dilumpuhkan" [sic: should be "Dia yang Menyerah"] (later included in his Tjerita dari Blora), which won the BMKN prize, 1952-1953. Later "Bukan Pasar Malam" also appeared.

In 1953 Pram lived in the Netherlands along with his family at the invitation of the Dutch-Indonesian Institute for Cultural Cooperation, Sticusa. There he wrote Korupsi and Midah si Manis Bergigi Emas. Up through 1960, he was less productive, with the exception of Sekali Peristiwa di Banten Selaten, but its quality was below par. After that he began to take interest in historical matters. Panggil Aku Kartini Saja, I and II were born.

There are some who consider Pram's greatness derives from his books Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah [and Rumah Kaca]. "Criticism's matchmaker-ism, isn't it," he says indifferently. He avoids commenting on the works of other authors, except to say, "I need reading that provides 'vitamins' for my life."

Living in the house his wife built while he was in Buru, Pram seems mostly to wallow in his book-filled study. He is a heavy smoker.

For the original Indonesian, see: Apa dan Siapa: Pramudya at Tempo Interaktif Translation ©1996 Alex G Bardsley
- Biographical Article: PRAMOEDYA

SIKAP DAN PERAN KAUM INTELEKTUAL (by Pram)

SIKAP DAN PERAN KAUM INTELEKTUAL DI DUNIA KETIGA*
Pramoedya Ananta Toer

Dunia Ketiga

Dunia Ketiga adalah belahan umat manusia yang setelah Perang Dunia II bersama dengan negerinya terbebas dari penjajahan Barat. Dengan Barat dimaksudkan juga Jepun. Penjajahan Barat diawali oleh pemburuan akan rempah-rempah Nusantara, terutama Maluku, dikembangkan melalui pengacak-acakan (kacau-bilau) seluruh dunia non-Barat, untuk dapat membawa segala yang berharga ke dunia Barat. Yang teracak-acak bukan saja mengalami perkosaan pelembagaan budaya, Iebih dari itu adalah pemiskinan yang sistematis. Pada pihak Iain Barat semakin membengkak dengan kemajuan, kekuasaan, keilmuan dan teknologi dengan bangsa-bangsa jajahan sebagai Iandasan percobaan. Doktrin-doktrin yang membenarkan penjajahan dilahirkan di Barat yang semua merugikan pihak bangsa-bangsa yang dijajah.

Kita menyaksikan Iahir dan berkembangnya imperium (empayar) dunia: Portugis dan Spanyol yang dibangun di atas perampasan emas dan perak, Inggeris yang dibangun di atas monopoli tekstil dan candu serta perbudakan (perhambaan), dan Belanda yang dibangun di atas monopoli rempah-rempah.

Sebahagian terbesar umat manusia telah dijajah oleh Barat, yang dalam jumlah nisbah jauh lebih kecil, namun bagaimanapun pokok utama yang menyebabkan nasib buruk bangsa-bangsa jajahan itu adalah ketidakmampuan budaya menghadapi ekspansi kegiatan dagang Barat. Dalam hal ini, dikecualikan Portugis dan Spanyol. Tapi pada keseluruhannya, terjadi sebagaimana dikatakan oleh Chiang Kai-shek, bahwa: tidak ada sesuatu bangsa bisa dijajah oleh bangsa Iain tanpa bantuan bangsa itu sendiri.

Produk (Kesan) penjajahan atas Dunia Keti secara budaya adalah: mentalitas bangsa jajahan yang belum tentu dapat hilang setelah tiga generasi bangsa itu hidup dalam alam kemerdekaan politik, kerana mentalitas bangsa yang dikalahkan berabad akan melahirkan kebudayaan bangsa kalah demi survivalnya sebagai bangsa kalah.

Tragedi pada Dunia Ketiga dengan kemerdekaan nasionalnya masing-masing terletak pada tidak atau kurang disedarinya kenyataan bahwa mereka masih hidup dan bernafas dengan kebudayaan bangsa kalah, dan mentalitasnya.

Produk jajahan atas Dunia Ketiga secara budaya pada pihak penjajah adalah: Demokrasi Parlementer, Hak-hak Asasi, yang dua-duanya memberi jaminan pada setiap individu untuk tumbuh menjadi kuat untuk dan atas namanya sendiri. Sedang pengalaman penjajahan berabad membentuk mentalitas sebagai bangsa unggul dan penakluk, yang juga tidak mudah hapus dalam tiga generasi, setelah bangsa-bangsa itu kehilangan jajahannya.

Apabila Dunia Ketiga dalam upayanya mengembalikan harga diri banyak berlindung pada apa yang mereka namai kebudayaan asli dan banyak kala tidak mengindahkan sumber sosial historisnya, malah tidak jarang menjualnya untuk pariwisata (pelancungan), dan bukan tanpa kebanggaan nasional kebudayaan asli yang terbukti secara sistem dan organisasi telah dikalahkan berabad.

Pada Dunia Barat dengan mentalitasnya sebagai bangsa unggul dan penakluk sampai dengan tahun delapan puluhan abad ini masih juga memproduksikan pandangannya yang menganggap Dunia Ketiga sebagai keanehan hanya kerana tidak sama dengan dirinya, hanya kerana perbedaan standar (taraf) yang sulit mereka sedari, dan kerana standar satu-satunya yang mereka kenal adalah miliknya. Contoh terakhir misalnya buku C.J .Koch The Year of Living Dangerously (terbitan Sphere Books United, London, 1981). Malah suatu gejala biasa bila Barzat tidak mau mengerti bahwa semua keterbelakangan (kemunduran) di Dunia Ketiga tidak Iain daripada ulah (tindakan) dunia Barat itu sendiri.

Penjajahan atas dunia non-Barat diawali oleh perlumbaan mendapatkan rempah-rempah Nusantara, terutama Maluku. Entah kerana kebetulan, entah kerana rancangan sejarah, secara teori, Nusantara pula yang mengawali putusnya penjajahan internasional sebagai tempat di mana mata rantai imperialisme dunia paling Iemah dengan Iahirnya Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Beberapa hari setelah itu menyusul Vietnam. Sekali mata rantai putus, kejatuhan mata rantai-mata rantai yang lain. Dari Indonesia ke daratan Asia merambat ke Africa, kemudian ke benua Amerika Latin.

Semua itu terjadi kerana faktor keberhasilan dari Indonesia dan Vietnam sebagai percubaan sejarah. Imperium Inggeris, yang kepayahan keluar dari Perang Dunia II dan mendapat pengalaman yang tidak menyenangkan di Indonesia, melepaskan dadanya dengan jalan damai untuk tidak menjadi payah Iagi. Sebaliknya Indonesia, yang kerana rempah-rempahnya membikin sebahagian terbesar umat manusia dijajah Barat, menyedari tugas sejarahnya dengan mengadakan Afro-Asian Conference di Bandung pada April 1955. Soekarno, seorang yang bukan saja menguasal, bahkan memahami sejarah bangsanya, bukan sekadar tahu tentang materi (isi) dan metode keilmuan sejarah, malah memahami filsafat sejarah dengan pidato anti-imperialismenya Let A New Asia and Africa Be Born telah mengangkatnya menjadi Bapak Dunia Ketiga. Orang suka atau tidak suka, mengakui atau tidak. Dengan Afro-Asian Conference, kekuasaan dan imbangan dunia berubah, bergerak kerana Iahirnya Dunia Ketiga. Menyebut Dunia Ketiga bererti juga menghadapi dunia Barat dengan sejarah penjajahannya sebagai guru musuh atau sahabat. Menyebut Dunia Ketiga tanpa konteks tersebut, adalah menempatkan sebahagian terbesar umat manusia dengan negerinya sebagai persoalan fiktif. Dunia Ketiga tak lain dari anak tak sah imperialisme Barat.

Bapak tidak sah dan anak tidak sah, yang dalam pergaulan internasional tidak bisa berpisahan satu sama Iain mempunyai posisi internasional yang berbeza, pertempuhan dan paran (destinasi) yang berbeza pula dalam jangka waktu tertentu yang dibutuhkan (diperlukan) oleh Dunia Ketiga dalam mendapatkan bentuknya masing-masing. Dan dalam jangka waktu tertentu itu, sekarang kita hidup, maka kerana itu juga dapat menyaksikan sendiri sikap Dunia Ketiga terhadap Barat dan sikap Barat terhadap Dunia Ketiga.

Sikap dunia Barat dapat kita ikuti dari penerbitan-penerbitannya tentang Dunia Ketiga, dengan catatan, bahwa sikap itu belum sikap umum Barat, baru sikap satu golongan yang merasa maju, dan mencuba membébérkan kekurangan-kekurangan Dunia Ketiga kerana belum sampai pada standar yang dimiliki Barat, dan nota bene (perhatikan) tidak Iain dari warisan penjajahan Barat sendiri, di samping memperkenalkan produk Dunia Ketiga yang patut diperkenalkan kepada Barat sebagai bukti produktifnya pengaruh Barat.

Belakangan ini muncul rumusan baru tentang Utara-Selatan untuk tidak menyebutkan kata-kata menyakitkan: kaya-miskin. Sebelum yang terakhir ini, Dunia Ketiga diberi nama manis: negeri/negara yang sedang berkembang (membangun). Semua itu untuk menghindari persoalan nurani antara bekas jajahan dan bekas penjajah. Nama-nama yang Ientur (Iunak) dan dilenturkan ini tak Iain dari suatu persetujuan tak terucapkan bahwa Dunia Ketiga berterima kasih pada bantuan yang menguntungkan dari Barat, sebaliknya Barat dengan bantuannya pada Dunia Ketiga mendapat keuntungan Iebih besar Iagi. Di sini kita sekarang berada.


Kaum Intelektual

Apa yang dimaksudkan dengan kaum intelektual bagi saya kurang jelas apakah menurut pengertian kamus ataukah menurut pendapat bebas dari setiap orang yang mempunyai kepentingan dengan kata tersebut. Apakah sarjana termasuk intelektual? Apakah setiap orang di antara kita intelektual atau tidak? Apakah kata intelektual itu satu atribut (sifat) dari sebahagian kecil nasion yang merasa diri berpikir Iebih daripada bagian selebihnya?

Kata Sahibul Hikayat yang dimaksudkan dengan kaum intelektual adalah kaum yang menempatkan nalar (pertimbangan akal) sebagai kemampuan pertama yang diutamakan, yang melihat tujuan akhir upaya manusia dalam memahami kebenarannya dengan penalarannya. Stop, Sampai di situ. Pada akhir Perang Dunia II, ada yang menggugat: bila sampai di situ saja faal (perbuatan) kaum intelektual ertinya penalarannya belum sampai pada suatu tanggungjawab terhadap diri sendiri dan lingkungannya, terutama pada umat manusia. Kemudian orang menamai kaum intelektual hanya sebagai sport, tanpa keterlibatan diri dengan penalarannya sendiri sebagai: intelektual blanko (kosong). Sehubungan dengan topik yang dikemukakan oleh Senat Mahasiswa FISUI jelas bukan intelektual blanko yang dimaksudkannya, tetapi yang merupakan bagian integral dengan nasionnya sendiri, bagian bernalar nasionnya yang bukan hanya mendapatkan input dari nasionnya juga memberikan output padanya.

Tetapi dalam kehidupan Dunia Ketiga pada umumnya dan di Indonesia khususnya, di mana semua mulai diawali, dibangun dan dikembangkan seirama dengan keperluan nasional faal kaum intelektual bukan sekedar mesin yang menari antara in- dan out-put. Pada mereka dituntut kejelian (keelokan) kepiawaiannya untuk dapat melihat peran dari perkembangan nasional, yang bererti juga kemampuan untuk melihat hari depan. Dan hari depan hanya dapat digalang dengan perhitungan dan amal hari ini. Penalarannya menggunakan reflektor yang tertuju ke depan, bukan tertuju ke belakang sebagai mana dalam kebudayaan purba, kebudayaan animis, dinamis dan pemujaan leluhur, kebudayaan kuburan.

Sebaliknya, kaum intelektual bukan sekedar bagian dari nasionnya. Iapun nurani nasionnya, kerana bukan saja dalam dirinya terdapat gudang ilmu dan pengetahuan, terutama pengalaman nasionnya, juga ia dengan isi gudangnya dapat memilih yang baik dan yang terbaik untuk dikembangkan, memiliki dasar dan alasan paling kuat untuk menjadi resolut (tegas) dalam memutuskannya atau tidak.

Hinduisme telah membagi masyarakat dalam kasta-kasta, yang relevansinya masih terasa. Kaum intelektual berada dalam kasta Brahmin. Hanya bezanya kaum Brahmin moden menempati kedudukan sebagai jambatan pada hari depan. Saya cenderung menempatkan kaum intelektual Indonesia dan Dunia Ketiga dalam pengertian ini.

Sikap dan Peran

Bicara tentang sikap adalah bicara tentang tempat berdiri, bicara tentang tempat berdiri adalah juga bicara tentang jarak yang telah ditempuh. Tempat berdiri pada giliranya hanyalahbagian dan medan yang tak terbatas. Dari tempat berdiri orang menghadapi jarak yang masih harus ditempuh. Sikap adalah faktor dalam yang akan menentukan bagaimana jarak di depan akan ditempuh. Akan dalam kamus politik diucapkan: bagaimana sebaiknya, kerana itu soal operasional.

Berdasarkan materi (bahan) yang telah dikedepankan, sikap yang sepatutnya diambil:

a. Meninggalkan sama sekali budaya kuburan dan mengambil penalaran sebagai satu-satunya jalan membina hari depan, dan dengan demikian secara aktif membangun budaya nasional yang moden.

b. Tetap kritis terhadap potensi pengaruh buday suku yang kalah dan mengajak kalah.

c. Berlatih berani untuk mendapatkan keberanian intelektual kerana tanpa keberanian intelektual, kaum sudah lumpuh sebelum memutuskaben. Sejalan dengan lahirnya bangsa Indonesia hanya kerana keberanian revolusioner, maka tradisi keberanian revolusioner juga merupakan unsur menentukan dalam kehidupan kaum intelektual Indonesia.

d. Sebagai intelektual Indonesia, tempatnya adalah pertama-tama sebagai manusia Indonesia, sebagaimana budaya Indonesia. Manusia budaya Indonesia berada dalam jajaran Dunia Ketiga, sedang Dunia Ketiga ada kerana diperhadapkan dengan Barat. Kaum intelektual Indonesia yang terIepas dari hubungan dengan Dunia Ketiga dan terlepas dari perhadapannya dengan Barat sebagai produk sejarah akan kehilangan sebagian dari kemampuan penalarannya yang objektif, kerana mereka tanpa sedarnya akan terlepas dari ikatan sejarah, ikatan pengalamannya sendiri.

e. Barat menjadi bongkak kuasa, bongkak kemajuan dan bongkak kemakmuran sehingga menjadi seperti sekarang ini dengan produk terbaiknya dalam bentuk demokrasi parlimenter dan hak asasi adalah atas biaya seluruh Dunia Ketiga, termasuk Indonesia. Maka dari pengalaman sejarah ini, kita punya hak menuntut dari Barat pertanggung jawaban moral dengan konsekuensinya yang wajar dan manusiawi. Kaum intelektual Indonesia kerananya diajak pertanggungan jawaban historis.

Atas dasar ini, Barat sudah sepatutnya melepaskan pandangan menara-gadingnya yang menganggap haknya bahwa Dunia Ketiga harus menjadi pengikutnya. Sebaiknya Barat merobohkan menara-gadingnya dan menggantinya dengan pengertian yang lebih manusiawi dalam membantu Dunia Ketiga untuk menjadi dirinya sendiri. Dengan robohnya menara gading itu pula, bisa diharapkan Barat melepaskan pandangan. Baratnya dan standar Baratnya dalam menilai Dunia Ketiga dengan perkembangannya.

f. Kaum intelektual Indonesia dalam berlatih memperkuat keberanian intelektual dan keberanian moral juga dituntut untuk selalu membikin perhitungan dengan masa lalunya sebagai bangsa, belajar untuk menghadapi Barat bukan sebagai superior, tetapi sebagai lembaga yang dalam beberapa abad belakangan ini menerima piutang paksa dari Dunia Ketiga.

Kaum intelektual Indonesia, sebagai manusia budaya Indonesia sudah sepatutnya mempunyai keberanian intelektual dan keberanian moral terhadap Barat untuk menuntut dari Barat segala yang terbaik dan berguna, teknologi dan sains, bukan sebagai hadiah kemanusiaan seperti halnya dengan Van Deventer dengan politik etiknya, tetapi semata-mata kerana dengan kebudayaan purbanya, dengan budaya sukunya yang kalah dan dikalahkan, dengan budaya Indonesia yang baru seumur jagung, terutama juga dengan budaya Barat.

Praktiknya, terus-menerus yang menjamin Iahirnya kedibyaan (genialitas) sehingga keintelektualan bukan tinggal jadi atribut sosial, tapi faaliah, fungsional, dan membikínnya patut jadi penalaran dan nurani nasion.

g. Akibat dari sikap yang diambil terhadap Barat membikin kaum intelektual Indonesia tidak bisa lain pada menata kembali dan mengorganisasi secara sedar perasaan pikirannya dalam membangun lebih lanjut budaya Indonesia dalam segala aspeknya justru di sini peran yang menentukan kaum intelektual Indonesia.

h. Kekuatan peradaban barat yang mampu berkembang dan bertahan berabad dalam sejarah umat manusia sudah sepatutnya dipelajari secara kritis. Pemberiannya pada umat manusia tak terhingga banyaknya. Sebaliknya kerasakan yang diakibatkannya pada Dunia Ketiga juga tak terhingga banyaknya. Kita tahu bahwa kekuatannya terletak pada kekuatannya individu Barat, sedang pada gilirannya individu Barat diasuh oleh demekrasinya dan diayomi (dibantu) oleh hak-hak asasinya, yaitu individu yang oleh Chairil Anwar dinyanyikannya sebagai aku... yang dari kumpulannya terbuang, kerana menolak pembebekan (sifat mengekor). Dari pelajaran Barat, Indonesia juga bisa kuat dengan individu manusia Indonesia yang kuat, sehingga dalam konteks pembicaraan kita menjadilah aku... yang dengan kumpulannya berpadu, yang untuk itu telah disediakan pegangan dan medan oleh Pancasila.

i. Terhadap Dunia Ketiga sebagai jajaran sendiri, sebagai seperasaian (mempunyai nasib sama) dalam sejarah, sebagai rakan seiring dalam memecahkan masalah-masalah yang diwariskan oleh kesamaan historis, menanggalkan sikap tak acuhan yang terkunci, sedang pandangan bahwa diri lebih maju dari yang lain adalah suatu kemewahan. Kesepakatan antara Dunia Ketiga akan mempercepatkan lahirnya kesatuan bahasa. Pengalaman berabad dalam praktik devide et impera (pecah dan perintah) Barat bukan tidak menjadi watak peradaban dalam menghadapi dunia non-Barat. Kerana itu semangat Dunia Ketiga, atau yang pernah juga disebut semangat Asia-Afrika, kemudian menjadi semangat Asia-Afrika-Amerika Latin, bukan semestinya menjadi semakin pudar untuk kerugian Dunia Ketiga.

Sukarno telah melampaui masanya waktu ia - bukan sekedar gagasan mencuba mewujudkan Ganefo dan Conefo, tetapi dalam situasi dunia sekarang ini dengan masalah Timur-Barat, Utara-Selatan, Dunia Ketiga-dunia selebihnya yang semakin akut dengan semakin mengecilnya dunia kita, keseiaan Dunia Ketiga jelas merupakan kebutuhan. Sekalipun, ya, sekalipun, perkembangan Dunia Ketiga dalam dasawarsa terakhir memerlukan batasan dan rumusan baru.

j. Peran kaum intelektual Indonesia sudah jelas. Gagasan perjuangan untuk melahirkan bangsa Indonesia diawali oleh mereka dengan kesadaran akan komitmennya dengan bangsanya, dengan kejelian dan kopiawaiannya tentang perang bangsanya. Gagasan dan praktik terus-menerus melahirkan Indonesia merdeka. Dengan praktik intelektual keintelektualan menjadi kuat, dengan praktik otot (tenaga), otot menjadi kuat. Seindah-indah gagasan yang tidak dicuba-wujudkan oleh otot dan dengan otot akan berubah menjadi roh-roh yang gentayangan (berkeliaran) - roh jahat yang menjadikan orang jadi munafik.

k. Kaum intelektual, sebagai nalar dan nurani nasion, adalah berkasta Brahmin dalam pengertian moden. Dan moden selalu senyawa dengan demokratis, dengan, demikian kehilangan kedudukannya dari hierarki Hindu. Faal bernolar, berpikir dengan inteleknya secara alami, tidak beza dari fungsi-fungsi kasta Iain dalam masyarakatnya, yakni melakukan proses bio-kimia. Tetapi proses biokimia yang tahu paran. Untuk bisa tahu tentang paran sebelumnya, orang dituntut tahu tersangkarnya, tentang asalnya, tentang historisnya.

* Ini adalah petikan dari teks ceramah Bapak Pram di Universitas Indonesia (Jakarta) atas undangan Senat Mahasiswa UI. Setelah ceramah ini disampaikan, beberapa pemimpin mahasiswa telah ditahan selama beberapa hari.

- SIKAP DAN PERAN KAUM INTELEKTUAL (by Pram)

DJAKARTA (by Pram)

DJAKARTA
Pramoedya Ananta Toer

Almanak Seni 1957

Sekarang tiba gilirannja: dia djuga mau pergi ke Djakarta.

Aku takkan salahkan kau, mengapa kau ingin djadi wargakota Djakarta pula. Besok atau lusa keinginan dan tjita itu akan timbul djuga. Engkau di pedalaman terlampau banjak memandang ke Djakarta. Engkau bangunkan Djakarta dalam anganmu dengan segala kemegahan jang tak terdapat di tempatmu sendiri. Kau gandrung padanja. Kau kumpulkan tekat segumpil demi segumpil.

Ah, kawan, biarlah aku tjeritakan kau tentang Djakarta kita.

Tahun 1942 waktu untuk pertama kalinja aku indjak tanah ibukota ini, setasiun Gambir dikepung oleh del­man. Kini delman ini telah hilang dari pemandangan kota —hanja tudjubelas tahun kemudian! Betjak jang menggantikannja. Kuda-kuda diungsikan ke pinggiran kota. Dan kemudian: manusia-manusia mendjadi kuda dan sopirnja sekali: begini tidak ada ongkos pem­beli rumput! Inilah Djakarta. Demi uang manusia se­dia djadi kuda. Tentu sadja kotamu punja betjak djuga tetapi sudah djadi adat daerah meniru kebobrokan ibu­kota.

Bukan salah manusia ini, kawan. Seperti engkau djuga, orang-orang ini mengumpulkan tekat segumpil demi segumpil­ perawan-perawan sawah, ladang dan pegunungan, buruh-buruh tani, petani-petani sendiri jang bidang tanahnja telah didih di dalam perasaannja, warga-warga dusun jang dibuat porakperanda oleh gerombolan, peladjar-peladjar jang hendak meneruskan peladjaran, djuga engkau sendiri —dan dengan penuh kepertjajaan akan keindahan nasib baik di ibukota.

Kemudian bila mereka sampai di Djakarta kita ini, perawan-perawan pedalaman jang datang kemari sekedar tjari makan, dia dapat makan, lupa tjari makan, dia kepingin kesenangan, dan tiap malam berderet di­ depan gedung tempatkerdjanja masing-masing. Pria tidak semudah itu mendapat pekerdjaan, dan achirnja mendjadi kuda. Beberapa bulan kemudian paha para pria ini mendjadi begitu penuhsesak dengan otot jang ter­lampau banjak dipaksa kerdja. Tiap minggu mereka menelan teIur ajam mentah. Dan djalan raja memberinja kemerdekaan penuh. Bila datang bahaja ia lepas betja berdjalan sendirian, dan ia melompat ke kakilima. Djuga tanggungdjawab delman hilang di tangan kuda-kuda ini. Beberapa tahun kemudian ia 'ngedjengkang' di balenja karena djantungnja mendjadi besar, desakan darahnja meninggi: ia invalid —puluhan! ratusan ribu! kembali ke kampung sebagai sampah. Bila ada kekajaan, adalah kekajaan membual tentang kepele­siran. Tetapi untuk selama-lamanja ia telah mati, su­dah lama mati. Djumlah kurban ini banjak daripada kurban revolusi bakalnja.

Djadi engkaupun ingin djadi warga Djakarta!

Djadi engkaupun ingin djadi sebagian kegalauan ini.

Dari rumah masing-masing orang bertekat mentjari uang di Djakarta. Djuga orang-orang daerah jang kaja mengandung maksud: ke Djakarta —hamburkan uang­nja. Dan djuga badjingan-badjingan daerah: ke Dja­karta —menangguk duit. Demi duit ini pula Djakarta bangun. Sebenarnja sedjak masuknja kompeni ke Dja­karta, Djakarta hingga kini belum djuga merupakan kota, hanja kelompokan besar dusun. Hingga sekarang. Tidak ada tumbuh kebudajaan kota jang spesifik, semua dari daerah atau didatangkan dan diimport dari luar negeri: dansa, bioskop, pelesiran, minuman keras dan agama, berbagai matjam agama.

Aku lupa, bahwa kau datang hendak kemari untuk beladjar. Tetapi barangkali patut pula kau djadikan ke­nangan, pusat beladjar daerah kita adalah Djakarta. Tetapi sungguh aku sesalkan, bahwa Djakarta kita bu­kanlah pusat beladjar jang mampu menjebabkan para mahasiswa ini mendjadi perspektif kesardjanaan Indonesia di kemudianhari. Sisa-sisa intelektualisme karena gebukan balatentara Dai Nippon kini telah bangkit kembali dengan hebatnja. Titel akademi jang diperoleh tiap tahun beku dikantor-kantor, dan daerah­mu tetap gersang menginginkan bimbingan. Dan bimbingan itu masih tergantung-gantung djauh di ang­kasa biru. Semua orang asing, dengan warnapolitiknja masing-masing, jang memberi kauremah-remah dari­pada kekajaan kita terbaik jang diisapnja.

Aku tahu, engkau orang daerah, orang pedalaman memdewakan pemimpin-pemimpinmu, tetapi aku lebih dekat pada kenjataan ini. Aku tahu engkau berteriak­-teriak tentang perekonomian nasional, tetapi basis ke­hidupan jang didasarkan atas perdagangan eksport, bukan sadja typis negara agraria, djuga negara kolonial. Sepandjang sedjarah negara-negara petani mendjadi negeri djadjahan, dan tetap mendjadi negeri djadjahan.

Dan bukankah petani-petani daerahmu masih tetap hamba-hamba di djaman Madjapahit, Sriwidjaja atau Mataram? Siang kepunjaan radja, malam kepunjaan durdjana! Dan radja di djaman merdeka kita ini ada­lah naik-turunnja harga hasil pertaniannja sendiri. Se­dang durdjananja tetap djuga durdjana Madjapahit, Sriwidjaja dan Mataram jang dahulu: perampok, pen­tjuri, gerombolan, pembunuh, pembegal.

Djadi beginilah, kawan. Djakarta merupakan impian orang daerah. Semua ingin ke Djakarta. Tapi Djakarta sendiri hanja kelompokan besar dusun, bahkan bahasa perhubungan jang masak tidak punja. Anak-anak men­djadi terlampau tjepat masak, karena baji-baji, kanak­-kanak dan orangtuanja digiring ke dalam ruangan­-ruangan jang teramat sempit sehingga tiap waktu me­reka bergaul begitu rapat. Masalah orangtua tak ada jang tabu lagi bagi kanak-kanak. Kewibawaan orangtua men­djadi hilang, dan segi-segi jang baik daripada perhubungan antara orangtua dan anak dahulu, kini mendjadi tum­pul. Agama telah mendjadi gaja kehidupan, bukan perbentengan rohani jang terachir. Aku tjeritai kau, kemarin anakku jang paling amat besar enam umurnja, bertjerita: Orang-orang ini dibuat Tuhan. Tapi apakah randjang ini dibuat olehNja djuga? Ia pandangi aku. Waktu kutanjakan kepadanja bagajmana warna Tuhan: hitam ataukah merah? Ia mendjawab Putih! Ia pilih warna jang tidak mengandung interpretasi, tidak di­warnai oleh pretensi. Sebaliknja kehidupan Djakarta ini, —dan barangkali patut benar ini kau ketahui: penuh-sesak dengan interpretasi dan pretensi ini. Di­ segala lapangan! Lebih mendjengkelkan daripada itu: tiap-tiap orang mau mendesakkan kepunjaannja masing-­masing kepada orang lain, kepada lingkungannja. Sungguh-sungguh tiada tertanggungkan. Barangkali kau pernah peladjari sedjarah kemerdekaan berpikir. Bila demikian halnja kau akan dikutuki tjelaka.

Tetapi djangan kaukira, bahwa kegalauan ini ber­arti mutlak. Barangkali adanja kegalauan ini hanjalah suatu salahharap daripadaku sebagai perseorangan. Aku seorang pengarang, dan pengarang di masa kita ini, terutama di ibukota kita, adalah sematjam kerbau jang salah mendarat di tanah tandus. Setidak-tidaknja kega­lauan ini memberi rahmat djuga bagi golongan-golongan terten­tu, terutama bagi para pedagang nasional, jakni jang berdjualbelikan kenasionalan tanah-airnja dan dirinja. Mungkin engkau tidak setudju. Tetapi barangkali lebih baik demikian. Sungguh lebih menjenangkan bagimu bila masih punja pegangan pada kepertjajaan akan kebaikan segala jang dimiliki oleh tanah-airmu dalam segala segi dan variasinja. Kami golongan pengarang, biasanja tiada lain daripada tenaga penentang, golongan opposisi jang tidak resmi. Resmi: pengarang. Tidak resmi: opposisi periuk terbaik! Dengan sendi­dirinja sadja begitu, karena kami bitjara dengan selu­ruh ada kami, kami hanja punja satu moral. Itu pula sebabnja, bila kami tewas, tewas setjara keseluruhan. Bukannja tewas di moral jang pertama, tetapi mendjadi tambun di moral jang keempat! mendjadi melengkung di moral jang ketiga!

Aku kira terlampau djauh lantaranku ini. Padamu aku mau bitjara tentang Djakarta kita.

Sekali waktu di suatu peristiwa, Omar pernah bitjara dengan sombongnja: Bakar semua chazanah, karena segalanja telah termaktub di dalam kur'an! Permun­tjulan jang grandiues tapi tak punja kontour-kontour kenjataan ini adalah gambaran kedjiwaan Djakarta: rentjana-rentjana besar, galangan-galangan terbesar di Asia Tenggara, tugu terbesar di Asia, kemerosotan mo­ral terbesar! segala terbesar. Tapi tak ada sekrup, tak mur, tak ada ada drat, tak ada nipple, tak ada naaf, tak ada inden dan ring pada permesinan semua ini. Sekali waktu disuatu peritiwa, Pascal mentjatat di­ dalam bukunja: Manusia hanja sebatang rumput, teta­pi rumput jang berakal budi. Dan rumput ini adalah golongan jang mempunjai kesadaran tanpa kekuasaan, terindjak dan termakan. Jang lahir, kering dan mati dengan diam-diam. Namun mendjadi permulaan dari pada kehidupan, seperti jang disaksikan oleh Schweit­zer, serta risalah Kan Ying Pien.

Berbagai matjam angkatan tjampur-baur mendjadi satu, seperti sambal jang menerbitkan satu rasa, tetapi dengan teropong masih djelas nampak perpisahan an­tara bagian satu dengan jang lain. Namun pentypean sematjam jang tegakkan oleh Remarque tidak memper­lihatkan diri.

Barangkali engkau keberatan dengan kata-kataku itu. Tetapi memang demikian. Tjobalah ikuti tulisan-tulisan angkatan demi angkatan. Angkatan jang muda mentja­tji jang tua, jang muda ditjatji oleh jang lebih muda. Tetapi, kata Ramadhan KH jang pernah aku dengar, angkatan muda ini bila diberi kesempatan, dia kehilangan segala proporsi dan lemih mendjadi badut lagi. Artinja badut di lingkungan badut. Tokoh-tokoh pemi­kiran mengetengahkan Wulan Purnomosidhi dan Ada ­tidaknja Tuhan, di dalam kekatjauan sosiologis, ekono­mis dan politis, kultural dan intertual! Apakah kita mesti ikut pukul kaleng untuk membuat segala ini men­djadi bertambah ramai? Sedang anak-anak murid ini telah demikian goiat dengan membanggakan pengeta­huannja tentang para tjabul dan 'rakjat ketjil' plus sa­duran Toto Sudarto Bahtiar Tjabul Terhormat karang­an Sartre? Plus Margaretta Gouthier saduran Hamka dari Alexander Dumas Jr. Hamka? ja Hamka.

Achirnja, seperti kata A. S. Dharta, orang-orang da­tang dan berkumpul ke Djakarta, mendjadi warga Dja­karta, untuk mempertjepatkan keruntuhan kelompokan besar dusun ini. Tambah banjak jang datang tambah tjepat lagi.

Selagi aku belum djadi penduduk Djakarta, dambaanku mungkin seperti kau punja. Impian jang indah, bajangan pada pembangunan haridepan. Diri masih pe­nuh diperlengkapi kekuatan, kemampuan dan kepertja­jaan diri.

Barangkali bagimu segala itu lebih keras lagi. Karena di daerah bertiup angin: orang takkan djadi warganegara jang 100% sebelum melihat Djakarta de­ngan mata kepala sendiri. Barangkali engkau akan bertanja kepadaku, mengapa tak djuga menjingkirkan diri dari Djakarta! Ah, kau. Golongan kami adalah sematjam kerbau jang mendarat di tanah tandus. Golongan kami reaksioner di lapangan penghidupan. Sekalipun tandusnja penghidupan golong­an kami, djustru Djakartalah jang bisa memberi, seka­lipun hanja remah-remah para pedagang nasional, atau petani pasar minggu. Tambah lama nasi jang sepiring harus dibagi dengan empat-lima anak-anaknja. Dan anak-anak ini akan mengalami masa kehilangan masa kanak-kanak, masa kanak-kanaknja sendiri. Kanak-kanak Djakarta jang tak punja lapangan bergerak, tak punja lapangan bermain, tak punja daerah perkem­bangan kedjiwaan, menjurus dari gang dan got, membunuh tiap marga-satwa jang tertangkap oleh matanja. Katak dan ketam dan belut dan burung mengalami lik­widasi, di Djakarta! Tetapi njamuk meradjalela, dan tjitjak dan sampah. Djuga mereka ini hidup di alam ketaksenangan. Taman-taman hanja di daerah Menteng dan perkampungan baru. Engkau tahu, djadi orang apa ka­nak-kanak sematjam ini djadinja di kemudian hari.

Engkau tahu, ada pernah dibisikkan kepadaku: da­erah jang punja taman adalah lahir dan berkembang karena telah menghisap darah daerah jang tak punja taman. Tentu sadja bisikan ini konsekwensi daripada prinsip perdjuangan kelas. Barangkali engkau tak setu­dju, karena ini membawa-bawa politik atau pergeseran kemasjarakatan jang berwarna politik atau politik ekonomi. Mungkin djuga hanja suatu kedengkian jang tak sehat. Tapi apakah jang dapat kauharapkan dari suatu masjarakat dimana sebahagian besar warganja hidup dalam suasana tak senang, tak ada pegangan, tak ada kepertjajaan pada haridepan! Sedang para pedagang nasional djuga tak punja hari depan, karena kemanisan jang diperolehnja harikini diisapnja habis harikini pula, untuk dirinja sendiri tentu, atas nama kenaikan harga tentu, sehingga mereka mendjadi para turis di daerah kehidupannja sendiri.

Segala jang buruk berkembang-biak dengan mantiknja di Djakarta ini. Segi-segi kehidupan amatlah runtjing­nja dan melukai orang jang tersinggung olehnja. Tetapi wargakota jang sebelum proklamasi bersikap apatis ­— apatisnja seorang hamba — kini kulihat apatisnja orang merdeka dengan djiwa hambanja. Bukan penghinaan, sekalipun suatu peringatan itu kadang-kadang terasa sebagai penghinaan. Di dalam kehidupan jang tidak menjenangkan apakah jang tak terasa sebagai penghi­naan! Dan tiap titik jang menjenangkan dianggap pudjian, atau setidak-tidaknja setjara subjektif: penga­kuan dari pihak luaran akan kesamaan martabat dengan orang atau bangsa jang memang telah merdeka dan tahu mempergunakan kemerdekaannja. Barangkali engkau menghendaki ketegasan utjapan ini. Baiklah aku tegaskan kepadamu: memang wargakota belum lagi 25% bertindak sebagai bangsa merdeka. Anarki ketjil­-ketjilan, sebagaimana mereka dahulu dilahirkan dalam lingkungan jang serba ketjil-ketjil pula: buang sam­pah digot! bandjir tiap hudjan akibatnja; pendudukan tanah orang lain jang disadari benar bukan tanahnja sendiri menurut segala hukum jang ada, sekalipun sah menurut hukum jang dikarang-karangnja sendiri: ketimpangan hak tanah adalah ketimpangan penghidupan, kehidupan dan kesedjahteraan sosial. Mengapa? Kare­na besok atau lusa tiap orang dapat didorong keluar dari rumah dan pekarangannja sendiri-sendiri. Kedjo­rokan dan kelalaian jang dengan langsung menudju ke pelanggaran ketertiban bersama. Dan djalan-djalan raja serta segala matjam djalanan umum mendjadi me­dan permainan Djibril mentjari mangsa. Djuga ini akibat hati orang tidak senang. Bawah sadarnja bilang: dia tak dilindungi hukum — dia, baik jang melanggar maupun jang dilanggar.

Nah demikianlah Djakarta kita, sekian tahun setelah merdeka.

Barangkali engkau mengagumi kaum tjerdik-pandai jang sering diagungkan namanja disurat-suratkabar. Hanja sedikit di antara mereka itu jang benar-benar bekerdja produktif-kreatif. Jang lain-lain terpaksa mem­populerkan diri agar tak tumbang dimedan penghidup­an! Apakah jang telah ditemukan oleh universitas Indonesia selama ini jang punja prestasi interna­sional! Di lapangan kepolitikan, apakah pantjasila telah melahirkan suatu kenjataan di mana engkau sadar di hatiketjilmu bahwa kau sudah harus merasa berterimakasih. Aku pernah menghitung, dan dalam sehari pada suatu hari jang tak terpilih, diutjapkan limabelas kali kata pantjasila itu baik melalui pers, radio, atau mulut orang. Sedjalan dengan tradisi pendjadjahan jang selalu dideritakan oleh rakjat kita, maka nampak pula garis-garis jang tegas dalam masa pendjadjahan priaji­-pedagang ini: orang membangun dari atas. Tanpa pondamen. Ah, kawan, kita mengulangi sedjarah ke­gagalan revolusi Perantjis.

Barangkali kau menjesalkan pandanganku jang pessimistis.

Akupun mengerti keberatanmu. Asal sadja kau tidak lupa: sekian tahun merdeka ini belum lagi bitjara apa-apa bagi mereka jang tewas dalam babak pertama revolusi kita. Kalau Anatole France bitjara tentang iblis-iblis jang haus akan darah di masa pemerintahan pergulingan itu, aku bisa djuga bitjara tentang iblis-­iblis jang haus akan kurban, akan kaum invalid peng­hidupan dan kehidupan. Dan bila kurban-kurban dan kaum invalid penghidupan dan kehidupan ini merasa tak pernah dirugikan, itulah tanda jang tepat, bahwa iblis itu telah lakukan apa jang dinamai zakelijkheid dengan pintarnja. Dan bila iblis-iblis ini tetap apa jang biasa dinamai badjingan.

Ini bukanlah jang kita kehendaki dengan zakelijkheid!

Ini bukanlah jang kita kehendaki dengan kehidupan kesardjanaan! kepriajian dan perdagangan!

Sardjana adalah kompas kita, ke mana kita harus pergi mentjari pegangan dalam lalulintas kebendaan di kekinian dan dimasa-masa mendatang. Sardjanamu, sardjanaku, wartawanmu, wartawanku, politisimu, politisiku, melihat adanja kesumbangan, dan: titik, stop. Djuga seperti turis di dalam gelanggang kehidup­annja sendiri.

Barangkali, engkaupun akan menuduh mengapa aku tak berbuat lain daripada mereka. Tetapi akupun tahu, bahwa engkau tidak melupakan sjarat ini: ke­kuasaan. Kekuasaan ini akan ditelan lahap-lahap oleh tiap orang, tetapi tidak tiap orang tahu tjaranja men­dapatkan dan menelannja. Sematjam kutjingmu sen­diri. Sekalipun sedjak lahir kauberi nasi tok, sekali waktu bila ditemukannja daging akan dilahapnja djuga. Djadi kau sekarang tahu segi-segi gelap dari ibukota kita ini. Segi-segi jang terang aku tak tahu samasekali, karena memang hal itu belum lagi diwahjukan kepada­ku, baik melalui inderaku jang lima-limanja ataupun jang keenam. Tetapi aku nasihatkan kepadamu, dalam masa kita ini, djanganlah tiap hal kauanggap mengan­dung kebenaran 100%, dengan menaksir duapuluh prosen pun kau kadang-kadang dihembalang keketje­waan. Djuga demikian halnja dengan uraianku ini.

Aku tahu, engkau seorang patriot dalam maksud dan djiwamu, karena engkau orang daerah jang djauh dari kegalauan kota besar, kumpulan besar dusun ini. Eng­kau akan berdjasa bila bisa membendung tiap orang jang hendak melahirkan diri dari daerahnja hendak memadatkan Djakarta. Tinggallah di daerahmu. Buat­lah usaha agar tempatmu mempunjai sekolah mene­ngah atas sebanjak mungkin. Dan buatlah tiap sekolah menengah atas itu mendjadi bunga bangsamu dike­mudianhari: djadi sumber kegiatan sosial, sumber ke­sedaran politik setjara ilmu, sumber kegiatan pentjip­taan dan latihan kerdja. Pernah aku beri tjeramah di kota kelahiranku dua tahun jang lalu: mobilisasilkan tiap murid ini untuk berbakti pada masjarakatnja, untuk beladjar berbakti, untuk membelokkannja daripada intelektualisme jang hanja mengetahui tanpa ketjakapan mempergunakan pengetahuannja. Apa ilmu pasti jang mereka terima itu bagi kehidupannja di kemudianhari bila tidak berguna?

Djangan kausangka, aku hendak mendiktekan kema­uanku sendiri. Aku kira aku telah tjukup tua untuk menjatakan semua ini kepadamu, — engkau jang ku­harapkan djadi pahlawan pembangun daerahmu. Djuga engkau ada merendahkan petani, karena engkau lahir dari golongan prijaji — pendjadjah petani sepandjang sedjarah pendjadjahan: Djepang, Belanda, Inggris, Mataram, Madjapahit, Sriwidjaja, Mataram dan kera­djaan-keradjaan perompak ketjil jang tidak mempunjai tempat chusus di dalam sedjarah.

Kawan, sebenarnja revolusi kita harus melahirkan satu bangsa baru, bangsa jang nomogeen, bangsa jang bisa menjalurkan kekuasaan itu sehingga mendjadi tenaga pentjipta raksasa, dan bukan menjerbit-njerbit­nja dan melahapnja sehingga habis sampai pada kita, pada rakjat jang ketjil ini. Dari dulu aku telah bilang kekuasaan dan kewibawaan kandas di tangan para petugas. Petugas jang benar-benar pada tempatnja hanja sedikit, dan suaranja biasa habis punah ditelan agitasi politik — sekalipun tiap orang tahu ini bukan masa agitasi lagi, kalau menjadari gentingnja situasi tanah­airnja dalam lalulintas sedjarah dunia!

Kita mesti kerdja.

Tetapi apa jang mesti kita kerdjakan, bila mereka jang kerdja tak mendapat penghargaan dan hasil seba­gaimana mesti ia terima?

Aku kira takkan habis-habisnja ngomong tentang Djakarta kita, pusat pemerintahan nasional kita ini. Setidak-tidaknja aku amat berharap pada kau, orang daerah, orang pedalaman, bakar habis keinginan ke Djakarta untuk menambah djumlah tugu kegagalan revolusi kita. Bangunkan daerahmu sendiri. Apakah karena itu engkau djadi federalis, aku tak hiraukan lagi. Dulu sungguh mengagetkan hatiku mendengar bisikan orang pada telingaku: mana jang lebih penting, kemer­dekaan ataukah persatuan? Dan kuanggap bisikan ini sebagai benih-benih federalisme. Aku tak hiraukan lagi apakah federalisme setjara sadar dianggap djuga se­bagai kedjahatan atau tidak! Setidak-tidaknja aku tetap berharap kepadamu, bangunkan daerahmu sendiri. Tak ada gunanja kau melantjong ke ibukota untuk men­tjontoh kefatalan di sini.

Kawan, sekianlah.

Djakarta, 17-XII-1955.

- DJAKARTA (by Pram)

SASTRA, SENSOR, DAN NEGARA (by Pram)

SASTRA, SENSOR, DAN NEGARA: Seberapa Jauh Bahaya Bacaan? *)

Pramoedya Ananta Toer

Saya warganegara Indonesia dari ethnik Jawa. Kodrat ini menjelaskan, bahwa saya dibesarkan oleh sastra Jawa, yang didominasi oleh sastra wayang, lisan mau pun tulisan, yang berkisah tentang Mahabharata dan Ramayana versi Jawa, serta kunyahan-kunyahan atasnya dengan masih tetap bertumpu pada kewibaan Hindu. Sastra yang dominan ini tanpa disadari mengagungkan klas atau kasta satria, sedang klas-klas atau kasta-kasta dibawahnya tidak punya peran sama sekali. Pekerjaan pokok kasta satria adalah membunuh lawannya. Selain sastra wayang yang agak dominan adalah sastra babad, juga mengagungkan kasta satria, yang ditangan para pujangganya menyulap kejahatan atau kekalahan para raja menjadi mitos yang fantastik.

Salah satu contoh bagaimana pujangga Jawa memitoskan kekalahan Sultan Agung, raja pedalaman Jawa, yang dalam operasi militer terhadap Batavia-nya Belanda pada dekade kedua abad 17 telah mengalami kekalahan total. Akibatnya Mataram kehilangan kekuasaannya atas Laut Jawa sebagai jalan laut internasional. Untuk menutupi kehilangan tersebut pujangga Jawa menciptakan Dewi Laut Nyai Roro Kidul sebagai selimut, bahwa Mataram masih menguasai laut, di sini Laut Selatan (Samudera Hindia). Mytos ini melahirkan anak-anak mytos yang lain: bahwa setiap raja Mataram beristerikan Sang Dewi tersebut. Anak mytos lain: ditabukan berpakaian hijau di pantai Laut Selatan. Ini untuk memutuskan asosiasi orang pada pakaian hijau Kompeni Belanda. Dan tanpa disengaja oleh pujangganya sendiri Sang Dewi telah mengukuhkan kekuasaan para raja Mataram atas rakyatnya. Bahkan menjadi polisi batin rakyat Mataram.

Di sini kita berhadapan dengan sastra dalam hubungan dengan negara, dan dipergunakan oleh negara, dengan fungsi pengagungan kastanya sendiri. Diturunkan dari generasi ke generasi akibatnya adalah menafikan kemajuan zaman, memberikan beban histori yang tidak perlu, membuat orang beranggapan bahwa masa lalu lebih baik daripada yang sekarang. Pendapat ini yang membuat saya meninggalkan sama sekali sastra demikian.

Meninggalkan sastra yang dilahirkan dalam pangkuan kekuasaan dan berfungsi memangku kekuasaan semacam itu, sejauh pengalaman saya, langsung saya bertemu dengan sastra hiburan, memberikan umpan pada impian-impian naluri purba pada pembacanya. Sejalan dengan Machiavelli, sastra demikian menjadi bagian alat tak langsung keekuasaan agar masyarakat tak punya peerhatian pada kekuasaan negara. Singkatnya, agar masyarakat tidak berpolitik, tidak mengindahkan politik. Sastra dari kelompok kedua ini membawa pembacanya berhenti di tempat.

Karena pengalaman pribadi sebagai anak keluarga pejuang kemerdekaan maka saya memaafkan diri sendiri kalau tidak menyukai sastra golongan kedua ini. Seiring dengan pengalaman pribadi tersebut, walau pada awalnya tidak saya sadari, langsung saya tertarik pada sastra yang bisa memberikan keberanian, nilai-nilai baru, cara pandang-dunia baru, harkat manusia, dan peran individu dalam masyarakatnya. Estetika yang dititikberatkan pada bahasa dan penggunaannya dianggarkan pada orientasi baru peranan individu dalam masyarakat yang dicitakan. Sastra dari golongan ketiga ini yang kemudian jadi kegiatan saya di bidang kreasi.

Setiap karya sastra adalah otobiografi pengarangnya pada tahap dan sitiuasi tertentu. Maka juga ia produk individu dan bersifat individual. Persembahannya kepada masyarakat tak lain dari sumbangan individu pada kolektivitas. Juga dalam hubungan kekuasaan, standar budaya yang berlaku, sikap pengarang sebagai individu terpancarkan baik dengan sadar atau tidak. Sampai di sini tugas pengarang adalah melakukan evaluasi dan reevalusi kemapanan di semua bidang kehidupan. Laku ini diambil karena pengarang bersangkutan tidak puas, bahkan merasa terpojokkan, bahkan tertindas oleh kemapanan yang berlaku. Ia berseru, malah melawan, bahkan memberontak. Bukan suatu kebetulan bila pernah dikatakan pengarang - dengan sendirinya dari golongan ketiga ini - dinamai opposan, pemberontak, bahkan biang revolusi seorang diri dalam kebisuan.

Di negara-negara dengan kehidupan demokratis beratus tahun kalah-menang dalam pertarungan idea adalah suatu kewajaran. Itu bukan berarti bahwa demokrasi tidak punya cacad. Eropa yang demokratis di Eropa justru tidak demokratis di negeri-negeri yang dijajahnya. Sebagai akibat di negeri-negeri jajahannya yang tak mengenyam demokrasi kalah-menang dalam pertarungan idea bisa dilahirkan dendam berlarut sebagai akibat konsep tradisional tentang gengsi pribadi dan panutan patrimonial.

Di Indonesia sensor atas karya sastra dikenal baru dalam dekade kedua abad ini. Sebelumnya atas karya sastra sensor lebih banyak ditujukan pada mass-media. Dan sejalan dengan tradisi hukum tindakan terhadap delik pers diputuskan melalui pengadilan. Larangan terhadap beredarnya beberapa karya sastra Mas Marco Kartodikromo, di luar tradisi, diberlakukan tanpa prosedur hukum, dan dilakukan oleh pejabat-pejabat Pribumi kolonial setempat-setempat. Larangan dan penyitaan, juga oleh pejabat kolonial Pribumi pernah dilakukan terhadap karya ayah saya, tetapi karya itu bukan karya sastra tetapi teks pelajaran sekolah-sekolah dasar yang tidak mengikuti kurikulum kolonial.

Larangan terhadap karya sastra memang suatu keluarbiasaan. Berabad lamanya setelah kerajaan-kerajaan maritim terdesak kekuatan Barat dan menjadi kerajaan-kerajaan pedalaman atau desa yang agraris kekuasaan feodalisme yang semata-mata dihidupi petani mengakibatkan lahirnya mentalitas baru yang juga merosot. Para pujangga Jawa mengukuhkan budaya "teposliro" (tahu diri), kesadaran tentang tempat sosialnya terhadap kekuasaan sesuai dengan hierarkinya, dari sejak kehidupan dalam keluarga sampai pada puncak kekuasaan. Penggunaaan eufemisme (= Jawa : kromo) sampai 7 tingkat yang berlaku sesuai hierarki kekuasaan menterjemahkan semakin kerdilnya budaya tradisional. Maka dalam sastra Jawa evaluasi dan reevaluasi budaya belum pernah terjadi. Itu bisa terjadi hanya dengan menggunakan bahasa Indonesia, yang kalau perlu, menafikan semua eufemisme, maka juga dalam sastra Indonesialah sensor kekuasaan bisa terjadi.

Idea-idea dari semua penjuru dunia yang ditampung oleh masyarakat modern Indonesia pada menjelang akhir abad 20 sudah tak mungkin dibendung pantulannya oleh kekuasaan yang segan menjadi dewasa. Untuk memungkinkan orang-orang dengan kekuasaan negara dapat tidur dengan nyenyak tanpa perlu memajukan dirinya lembaga sensor memang perlu diadakan.

Jawa dikodratkan memiliki faktor-faktor geografi yang menguntungkan. Dari semua pulau di Indonesia di Jawalah penduduknya berkembang sebagai faktor-faktor klimatologis yang mendukung pertanian. Bukan suatu kebetulan bila kolonialis Belanda membuat Jawa jadi pusat imperium dunianya di luar Eropa. Dengan kepergiannya, masih tetap jadi pusat Indonesia, dengan penduduknya mayoritas di seluruh Indonesia, masuknya sejumlah budaya tradisional ke dalam kekuasaan negara memang tidak dapat dihindarkan. Di antara budaya tradisional Jawa yang terasa menekan ini adalah "tepo-sliro", kehidupan kekuasaan sekarang dinamai dengan bahasa Inggris "self-cencorship". Nampaknya elit kekuasaan malu menggunakan nama aslinya. Dengan demikian menjadi salah satu faset dalam kehidupan modern Indoensia bagaimana orang menyembunyikan atavitas/atavisme.

Saya cenderung memasukkan sastra golongan ketiga ini ke dalam sastra avant garde. Saya nilai pengarangnya mempunyai keberanian mengevaluasi dan mereevaluasi budaya dan kekuasaan yang mapan. Dan sebagai individu seorang diri sebaliknya ia pun harus menanggung seorang diri pukulan balik setiap individu lain yang merasa terancam kemapanannya.

Jadi sampai seberapa jauh karya sastra dapat berbahaya bagi negara? Menurut pendapat saya pribadi karya sastra, di sini cerita, sebenarnya tidak pernah menjadi bahaya bagi negara. Ia ditulis dengan nama jelas, diketahui dari mana asalnya, dan juga jelas bersumber dari hanya seorang individu yang tak memiliki barisan polisi, militer, mau pun barisan pembunuh bayaran. Ia hanya bercerita tentang kemungkinan kehidupan lebih baik dengan pola-pola pembaruan atas kemapanan yang lapuk, tua, dan kehabisan kekenyalannya.

Dalam pada itu setiap negara pada setiap saat bisa berubah dasar sistemnya, dengan atau tanpa karya sastra avant garde. Perubahan demikian telah dialami oleh negara Indonesia sendiri dari demokrasi liberal menjadi demokrasi terpimpin dan kemudian demokrasi pancasila, yaitu era kemerdekaan nasional setelah tumbangnya negara kolonial yang bernama Hindia Belanda dan peralihan pendudukan militeristis Jepang. Dalam masa demokrasi liberal di mana negara tetap berdasarkan pancasila yang tak banyak acuhkan, dalam masa demokrasi terpimpin, sewaktu Presiden Soekarno dengan segala konsekuensinya hendak mandiri dan mengebaskan pengaruh dan keterlibatan perang dingin para adikuasa, pancasila lebih banyak dijadikan titik berat. Soekarno sebagai penggali pancasila tidak bosan-bosannya menerangkan bahwa pancasila di antaranya digali dari San Min Chui Sun Yat Sen, Declaration of Independence Amerika Serikat, dan Manifes Komunis dalam hal keadilan sosial. Semasa demokrasi pancasila yang ditandai dengan gerakan de-Soekarnoisasi, rujukan-rujukan Pancasila bukan saja tidak pernah disebut lagi bahkan pernah ada upaya dari seorang sejarawan orde baru yang mebuat teori bahwa pancasila bukan berasal dari Soekarno. Dalam sejumlah peralihan ini tidak pernah terbukti ada karya sastra yang memberikan pengaruhnya. Dan memang sastra avant garde praktis belum pernah lahir. Karya-karya sastra Indonesia praktis baru bersifat deskriptif. Bila toh ada avant garde yang lahir itu terjadi semasa penindasan militerisme Jepang, suatu pemberontakan yang terjadi sama kerasnya dengan penindasannya. Individu tersebut, Chairil Anwar, dengan sajaknya "Aku", menyatakan Aku binatang jalan/Dari kumpulannya terbuang. Ia menolak diperlakukan sebagai binatang ternak Jepang, yang hanya harus melakukan perintah Jepang, dan memisahkan diri dari selebihnya. Ia sendirilah yang harus bertanggung-jawab atas karyanya. Kempeitei menangkap dan menganiayanya. Memang kemudian ia dibebaskan. Ironisnya masyarakat pembaca yang banyak membaca dan menyukai sajak tersebut dan umumnya tak dikaitkan dengan masa pendudukan militeris Jepang waktu ia menciptakannya.

Maaf kalau saya hanya bicara tentang sastra Indonesia. Namun saya percaya bicara tentang sastra mana pun adalah juga bicara -walau tak langsung- tentang sastra regional dan internasional sekaligus, karena setiap karya sastra adalah otobiografi seorang individu, seorang dari ummat manusia selebihnya, yang mempersembahkan pengalaman batinnya pada kolektivitas pengalaman ummat manusia.

Berdasarkan historinya Indonesia memerlukan sebarisan besar pengarang dari golongan avant garde. Berabad lamanya rakyat bawah membiayakan feodalisme. Dengan kemenangan kolonialisme mereka kemudian juga harus membiayai hidupnya kolonialisme. Walau feodalime sebagai suatu sistem sudah dihapuskan oleh proklamasi kemerdekaan namun watak budayanya masih tetap hidup, bahkan elit kekuasaan mencoba melestarikannya. Sstra avant gardelah yang menawarkan evaluasi, reevalusi, pembaruan, dan dengan sendirinya keberanian untuk menanggung resikonya sendirian.

Di sini menjadi jelas bahwa cerita, karya sastra, sama sekali tidak berbahaya bagi negara yang setiap waktu dapat berganti dasar dan sistem. Karya sastra para pengarang avant garde hanya mengganggu tidur pribadi-pribadi dalam lingkaran elit kekuasaan, yang kuatir suatu kali cengkeramannya atas rakyat bawahan bisa terlepas.

Saya sendiri, walau berasal dari keluarga pejuang kemerdekaan dan sendiri pun pejuang kemerdekaan, dalam 50 tahun kemerdekaan nasional ternyata justru kehilangan kemerdekaan pribadi saya selama 35,5 tahun. 2,5 tahun dirampas Belanda, hampir satu tahun dirampas kekuasaan militer semasa orde lama, dan 30 tahun semasa orde baru, diantaranya 10 tahun kerja paksa di Pulau Buru dan 16 tahun sebagai ternak juga hanya dengan kode ET, artinya tahanan di luar penjara. Sebagai pengarang barang tentu saya berontak terhadap kenyataan ini. Maka dalam karya-karya saya, saya mencoba berkisah tentang tahap-tahap tertentu perjalanan bangsa ini dan mencoba menjawab: mengapa bangsa ini jadi begini?

Bahwa karya-karya dilarang beredar di tanah air saya sendiri atas permintaan beberapa pribadi dalam elite kekuasaan, bagi saya tidak jadi soal. Larangan-larangan tersebut malah memberi nilai lebih pada karya-karya tersebut tanpa disadari oleh kekuasaan.

Mungkin ada yang heran mengapa bagi saya sastra bertautan erat dengan politik. Saya tidak akan menolak kenyataan itu. Menurut pandangan saya setiap orang dalam kehidupan bermasyarakat, apalagi berbangsa, selalu bertautan dengan politik. Bahwa seseorang menerima, menolak, bahkan mengukuhi suatu kewarganegaraan adalah suatu sikap politik. Bahwa seseorang mengibarkan bendera kebangsaannya, itu adalah perbuatan politik. Bahwa seseorang membayar pajak, itu adalah pengakuan pada kekuasaan, jadi juga berarti ketaatan politik. Juga sastra tidak bisa lepas dari politik sejak sastra itu sendiri dilahirkan ummat manusia. Selama ada masyarakat manusia dan kekuasaan yang mengatur atau pun merusaknya, di situ setiap individu bertautan dengan politik.

Pernah lahir anggapan bahwa politik adalah kotor, maka sastra harus terpisahkan dari politik. Memang bisa saja politik kotor di tangan dan dari hati politisi yang kolot. Kalau ada yang kotor barang tentu juga ada yang tidak kotor. Dan bahwa sastra sebaiknya harus terpisahkan dari politik sebenarnya keluar dari pikiran para pengarang yang politiknya adalah tidak berpolitik. Politik sendiri tidak bisa diartikan hanya sebatas kepartaian, ia adalah semua aspek yang bersangkutan dengan kekuasaan, dan selama masyarakat ada kekuasaan juga ada, tak peduli bagaimana eksistensinya, kotor atau bersih. Dan dapat dikatakan sastra yang "menolak" politik sesungguhnya dilahirkan oleh para pengarang yang telah mapan dapam pangkuan kekuasaan yang berlaku.


* Pidato tertulis Pramoedya, yang disampaikan ketika menerima ia penghargaan Magsaysay, di Manila.
- SASTRA, SENSOR, DAN NEGARA (by Pram)
 


  © Blogger templates 4Kolom by abdi-husairi.blogspot.com 2009

Back to TOP